Monday 20 February 2012

ada2 tau riolo

TORILOLANGENG TALINGKENNA LABELA

(Menurut kata orang yan mengatakan)

MAKKEDAI LAMENGRIRANA

(Kata orang dulu)

ENGKA GARE ANA PATTOLA

(Ada anak generasi)

ANAKKARUNG MPULAWENG PALILINA BONE

(Anak bangsawan di Tanah Bone)

RIRAMPE RILALENG LIPU

(Disebut di dalam kampung)

LETTU LAO RI SALIWENG PANUWA

(Sampai ke luar Kampung)

NAPOUNGA - UNGA TIMUIYA BELA ANA PATTOLA

(Selalu disebut anak sederajat berdarah bangsawan)

NAUJU SIA PAKKITA

( Diselimuti pandangan mata)

ANA SIPAJAJIANG NAGILING SIAMELLERI

(Anak kerabat raja yang disepakati)

TEPPASIPAJAJIANG GAU MASALA

(Tak pernah melakukan perbuatan melanggar adat)

MASALA RIPANGKAUKENG

(Perbuatan yang Melanggar)

MAKKITA RITAJANG MASSEWAE

(Melihat terang benderang)

NASALEORI APPASE SIMULAJAJI

(Berselimut pesan sejak lahir)

MUTOKKONG RIENGKAMU MAKKITA TAJANG

(Engkau bangkit dikala engkau melihat terang)

ASSEUWANNA DEWATAE

(Karena kebesaran Ilahi)

EPAJAJIAYANGNGENGNGI SEUWA-SEUWAE

(Yang menjadikan Alam semesta)

PURATO MADDIONRO

(Sudah menjadi tatatanan)

KURUMAI SUMANGE'MU

(Berbahagialah kamu sekalian)

NASABA PAKKEGELLI DEWATAE

(Karena hal yang dibenci Tuhan)

TUDANG SARA TEA PANGADERENG

(Duduk merenung tanpa peradaban)

PATTARO ADE MAPPURA ONRO

(Sudah menjadi tatanan Adat)

NARILADUNG NA SIA

(Dibuanglah ia )

AWE KASI ..... AWE...........................

(Amboi Kasihan ..... Amboi......)

SOKKUNI SIA MINASATTA

(Sempurnalah segala harapan)

MAPPURA ONRONI ASSAMATURUSETTA

(Lengkaplah kesepakatan kita)

PURA TOTONI MINASAE

(Sudah suratan harapan)

LIMBANGNI SIA RI MAJE

(Menyeberanglah ia di alam barzah)

LETENI RI PAMMASSEARENG

(Berjalanlah ia di alam kematian)

NAWA-NAWAI TODDONA

(Merenungi Nasibnya)

TODDO PULI TELLARANA

(Nasib takkan berubah lagi)

AWE..................

(Amboi .......)

SAGALA RITU MENNANG

(Kalau ada susah kemudian)

AJA NAOMPO WARAKKARANG

(Jangan muncul pemikiran buruk)

TENGWIJA NALALENGI PAMALENA

(Tak boleh ada generasi yang mendapatkan imbasnya)

PURA MADDIONRONI TOTOE

(Sudah menjadi suratan takdir)

TOTO POLE RIPAMMASE SEUWWAE

(Takdir dari yang kuasa)

ITAWA PUANG DEWATA

(Lihatlah hamba-Mu ya Tuhan)

RI LIPU KASIWIANGKU

(Di tanah kelahiranku)

KUPUMADIMENG RIPAMMASE

(Saya mengharapkn perlindungan-Mu ya Tuhan)

SALIPUNA TEMMADINGING

(Peluklah kami dgn penuh kemesraan)

AWE SEDDI PALE BULO-BULO

(Satu asal muasal)

NAPOLEI SIPADDUWA

(Asal muasal ia keduanya)

NAGILING SIAMELLERI SIPAJAJIANG GAU MASALA

(Kembali menyatu dalam perbuatan melanggar norma)

MASALA RIPANGKAUKENG

(Melanggar karena perbuatan)

NARIYASENNA MALAWENG

(Disebutlah ia Malaweng)

AWE ........

(Amboi ........)

TENNA ELORI DEWATAE

(Dilarang oleh Tuhan)

NAPOSIRI TO MAEGAE

(Pantang bagi orang banyak)

NAMAGELLI ANANGNGE

(Marah orang banyak)

NAIYYA TAU MALAWENGNGE

(Adalah orang yang melanggar Adat)

SAPA TANA TULA PATTAUNGENG

(Merupakan bencana dan kutukan bertahun-tahun)

TEPPARANRU RAUKAJU

(Takkan hidup tumbuh-tumbuhan)

TEPPALORONGI WELARENG

(Takkan menjalar umbi-umbian)

MABELAI GARE BOSIE

(Hujan semakin jauh)

TEPPATUWO TANENG-TANENG

(Takkan menghidupi segala tanaman)

PAPOLEI WISESA

(Mendatangkan wabah)

TEPPAJAJI NAWA-NAWA

(Tak mendatangkan harapan)

AWE.........

(Amboi.......)

RIAPPASENGENG ANA TENCAJI

(Menjadi pesan bagi generasi)

AJA LALO NAITAI BATI

(Janganlah diikuti)

TENRITANENG TAUSENNA

(Tak bisa ditanam batunya)

AJA NALLENGNGE WIJANNA

(Janganlah tumbuh anaknya)

NASABA PAKKEGELLI DEWATAE

(Karena dibenci oleh Tuhan)

PATTARO ADE MAPPURA ONRO

(Sudah menjadi norma dan tatanan harga mati)


kawali ogie( badik bugis )

Dimata orang Bugis, Badik atau dalam bahasa bugis disebut Kawali bukan hanya sebagai senjata untuk membela diri, namun setiap jenis badik dipercaya memiliki kekuatan sakti (gaib). Kekuatan ini dapat mempengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.
Sejak ratusan tahun silam, badik dipandang sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. Kawali orang Bugis pada umumnya memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar pada bagian ujung, disamping itu ada juga kawali dari bessi pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua(sarung). Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.
Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring Telluyang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.
Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.
Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki motif berupa urat (ure‘) yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.
Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap pertempuran.
Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.
Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.
Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki. Seperti kata orang Bugis mengenai badik “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali” (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).
Badik/kawali bagi masyarakat Sulawesi Selatan mempunyai kedudukan yang tinggi. Badik/kawali bukan hanya berfungsi sekedar sebagai senjata tikam, melainkan juga melambangkan status, pribadi dan karakter pembawanya. Kebiasaan membawa Badik/kawali dikalangan masyarakat terutama suku bugis dan Makassar merupakan pemandangan yang lazim ditemui sampai saat ini. Kebiasaan tersebut bukanlah mencerminkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku bugis dan makassar adalah masyarakat yang gemar berperang atau suka mencari keributan melainkan lebih menekankan pada makna simbolik yang terdapat pada Badik/kawali tersebut.
Pentingnya kedudukan Badik/kawali di kalangan masyarakat bugis dan makassar membuat masyarakat berusaha membuat/mendapatkan badik yang istimewa baik dari segi pembuatan, bahan baku, pamor maupun sisi’ (tuah) yang dipercaya dapat memberikan energi positif bagi siapa saja yang memiliki atau membawanya.
Badik/kawali yang bagus/istimewa dapat dilihat dari beberapa unsur, yakni:
a. Dari segi fisik Badik/kawali dapat dilihat:
Bahan bakunya terbuat dari besi dan baja pilihan biasanya mengandung meteorit dan ringan. Wilayah Sulawesi Selatan sejak zaman dahulu terkenal dengan besi luwu yang berkualitas tinggi.
Pamor;ragam pamor pada Badik/kawali lebih sederhana dari dari keris jawa biasanya terdiri dari jenis pamor kurrisi, laso ancale, parinring, bunga pejje, maddaung ase, kuribojo, tebajampu, timpa laja dan balo pakki.
b. Segi sisi’(tuah)/mistik antara lain:
  1. Uleng puleng dan battu lappa; sebenarnya merupakan kandungan meteorit. Bagi sebagian orang percaya Badik/kawali yang mempunyai ulengpuleng(kalau kecil)/battu lappa (kalau besar) akan membawa kebaikan pada pemiliknya baik berupa kemudakan rezki, karisma, maupun peningkatan karir. Posisi ulengpuleng/battulappa yang dicari adalah yang terletak dipunggung badik kira-kira berjarak 5 cm dari hulu/pangulu karena dipercaya akan memudahkan rezki dan karir. Badik/kawali yang memiliki ulengpuleng dan battulappa juga dipercaya dapat menghindari gangguan mahluk halus, sihir dan tolak bala.
  2. Mabelesse; adalah retakan di atas punggung Badik/kawali sehingga seakan-akan Badik/kawali tersebut akan terbelah dua. Badik seperti ini dipercaya akan memudahkan rezki bagi pemiliknya sehingga banyak dicari oleh yang berprofesi sebagai pedagang.
  3. Sumpang buaja; sama seperti mabelesse Cuma retakannya pada bilah dekat ujung Badik/kawali. Tuahnya sama seperti mabelesse namun yang dicari yang letaknya pada bilah sebelah kanan dekat ujung Badik/kawali.
  4. Ure tuo; adalah garis yang muncul pada bilah Badik/kawali. Yang dicari adalah yang tidak terputus-putus, kalau letaknya dipunggung Badik/kawali dan tidak terputus dari hulu sampai ujung tuahnya membuat sang pemilik disegani dan dituruti semua perkataannya, kalau melingkar ke atas dari bilah ke bilah sebelahnya seperti badik luwu sambang maka tuahnya untuk melindungi pemiliknya dari malapetaka dan kalau turun ke baja maka untuk memudahkan rezki.
  5. Tolongeng; adalah lubang pada punggung Badik/kawali yang tembus ke bawah terletak dekat hulu/pangulu sehingga kalau dilihat seakan seperti teropong. Pada zaman dahulu sebelum berangkat perang biasanya panglima perang meneropong pasukannya melalui Badik/kawali tolongeng.
  6. Sippa’sikadong; adalah retakan pada tengah bilah Badik/kawali dari punggung Badik/kawali. Tuahnya adalah membuat pemiliknya disenangi oleh siapa saja yang melihatnya. Pada zaman dahulu apabila ada seseorang akan melamar gadis, maka utusan dari laki-laki akan membawa Badik/kawali sippa’sikadong yang bertujuan agar memudahkan lamarannya diterima pihak perempuan
  7. Pamussa’; adalah upaya memperkuat daya magis Badik/kawali yang diletakan dalam hulu/pangulu Badik/kawali. Biasanya dengan menggunakan bahan-bahan tertentu tergantung akan digunakan untuk apa Badik/kawali yang akan di beri pamussa.
  8. Pangulu; di kalangan masyarakat bugis Bone berkembang suatu keyakinan akan kemampuan yang dimiliki sebagian orang yang mampu membuat pihak lawan tidak mampu mencabut Badik/kawali ketika akan digunakan, ilmu ini dikenal dengan istilah pakuraga/pabinrung. Pangulu yang caredo(terbelah/atau memiliki mata) secara alami dipercaya mampu mengatasi orang yang memiliki ilmu tersebut.
Demikianlah selayang pandang tentang badik (kawali) kekuasaan dan penentu segalanya hanya Allah swt. manusia hanya dapat berencana dan berusaha..

Friday 3 February 2012

rumah bugis

Rumah Adat Bugis adalah rumah panggung kayu. Menurut Robinson (1993), Rumah Panggung kayu mewakili sebuah tradisi yang bertahan lama, tradisi yang juga tersebar luas di dunia Melayu. Bentuk dasar rumah adalah sebuah kerangka kayu dimana tiang menahan lantai dan atap dari berbagai bahan. Keanekaragaman bahan kian meningkat dalam dunia kontemporer setelah pendirian rumah menjadi kian dikomoditikan. Keunikan Rumah Bugis dibanding rumah panggung Sumatera dan Kalimantan adalah bentuknya yang memanjang ke belakang dengan tambahan disamping bangunan utama dan bagian depan (orang bugis menyebutnya lego – lego, makassar : dego - dego).

Rumah adat Bugis mencerminkan sebuah estetika tersendiri yang menjadikannya obyek budaya materil yang indah. Bagian – bagian utama rumah terdiri dari Tiang utama (alliri), terdiri dari 4 batang setiap barisnya. Jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat, tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri, Padongko, yaitu bagian rumah yang menjadi penyambung dari alliri di setiap barisnya, serta Pattoppo, yaitu bagian rumah yang menjadi pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.

Rumah Panggung kayu khas Bugis Makassar mengacu pada anutan kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas (botting langi), bagian tengah (alang tengnga / ale kawa) dan bagian bawah ( awa sao / peretiwi / bori liu). Itulah sebabnya rumah tradisional Bugis Makassar juga terdiri atas tiga bagian, yaitu Rakkeang, bagian atap rumah. Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen. Yang kedua, Ale Bola, yaitu bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ), dan Awa bola, yaitu bagian bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.

Rumah dengan arsitektur berkolong rumah bagi banyak orang Bugis dipandang sangat aman dan nyaman, selain itu karena berbahan dasar kayu rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah. Bentuk rumah orang Bugis  haruslah persegi empat. Ini berhubungan dengan falsafah hidup Sulapa EppaE (atau Persegi empat).

Selain menganut konsep tentang alam / kepercayaan tentang pusat dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah maka pada rumahpun ada pusat rumah yang disebut possi bola, yaitu salah satu tiang yang kedua dari depan dan terletak disamping kanan. Itu pula sebabnya mengapa pada upacara adat menre baruga (menre bola), sesajen - sesajen seringkali diletakkan di “possi bola” karena disitulah roh-roh (atau makhluk gaib) dianggap berkumpul, terutama jika ada kejadian dan peristiwa khusus dalam keluarga.

Terkait arah rumah, boleh saja memilih salah satu diantara empat penjuru mata angin. Tetapi setelah pengaruh Islam masuk maka timbullah anggapan baru, bahwa arah rumah yang paling baik ialah menghadap ke Timur yang berarti tampingnya berada di sebelah utara. Rumah yang menghadap ke selatan berarti tampingnya berada di sebelah timur. Karena ada ketentuan di kalangan masyarakat bahwa tidur di rumah itu, kepala harus ke bagian kanan rumah dan kaki mesti ke arah tamping (bagian kiri) dan tidak boleh ke arah Ka’bah (kiblat shalat). Dengan kata lain tidak boleh ke arah barat karena Ka’bah berada di sebelah barat.

B. Kepercayaan dan Simbol – simbol tentang Rumah

Pada zaman dahulu, orang Bugis memiliki kepercayaan bahwa letak rumah tempat tinggal diusahakan supaya berdekatan dengan tempat tinggal bekerja (sawah, ladang atau pantai) atau dekat dengan rumah famili / kerabat. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya Kampung Pallaonruma dan Kampung Pakkaja, tetapi sekarang sudah tidak menjadi syarat lagi. Ciri yang menonjol pada sebagian besar orang Bugis adalah bahwa mereka selalu akan menetap dan menjadi penduduk asli di suatu tempat dimana mereka menggantungkan hidupnya. Mereka akan membangun disitu dan akan mati disitu pula. Hal ini sangat berhubungan dengan mata pencaharian mereka, seperti seorang petani akan bermukim atau membangun rumahnya dekat dengan lahan atau kawasan pertanian mereka. Petambak akan cenderung membangun rumahnya pada suatu lokasi yang tidak terlalu jauh dari kawasan empangnya.

Ruang dan simbolisme yang terlihat pada rumah tradisional merupakan fokus spiritual dan fisik bagi penghuninya, dengan asosiasi metafisik yang mencari vitalitas, perlindungan dan harmoni. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Bourdieu, ‘ruang hunian’, terutama rumah, merupakan alat prinsipil dalam mengartikulasikan dan memahami struktur sosial. Pembagian ruang pada rumah menjadi sebuah ‘sistem klasifikasi nyata (yang) terus menerus melahirkan dan mendorong prinsip – prinsip taksonomi yang mendasari semua ketentuan budaya yang arbitrer’.

Pada rumah Bugis, sentralitas ditandai oleh aliri posi, atau tiang pusar, yang menandai sumber sumange’, dan dihormati dalam ritual, sebagaimana totalitas pusat dan pinggir, dimana setiap sudut rumah ditandai dengan sesajen dan do’a. Kehadiran roh penjaga pada tiang pusar juga terdapat dalam La Galigo dimana tiang pusat istana raja kerap menjadi fokus kegiatan dalam kisah epik tersebut. Tiang ini dihiasi saat ada upacara – upacara, tarian – tarian disajikan di sekitarnya, dan ketika dilakukan pelayaran antara Dunia Tengah dan Dunia Atas, muncul pelangi di tiang tersebut pada saat pelayaran dilakukan, sehingga menghubungkan dunia syurgawi dan dunia materi. Hingga sekarang, ketika berada di luar rumah, adalah hal lazim bagi orang – orang untuk mendapatkan perlindungan diri melalui penggunaan jimat – jimat yang dipakai atau dibawa untuk menghindari malapetaka dan dilepas setelah memasuki rumah.

Simetri dan keseimbangan dari pengaruh pencarian tatanan dan harmoni yang terdapat pada sulapa eppa’, dan skema fundamental lainnya yang dikaitkan terus menerus dan ditegaskan dalam wilayah sosial, politik, dan spiritual. Motif – motif mungkin muncul secara sadar dari pemahaman akan sulapa eppa’ dan posisi sosial, seperti halnya timpa laja’ bola (Makassar : timbassila balla’), jumlah jeluji jendela, motif – motif tertentu pada dinding rumah, walasuji, dan lain sebagainya. Motif ini mungkin belum menjadi refresentasi sadar dari konsep – konsep tersebut tetapi merupakan ekspresi dari sebuah logika kultural yang melingkupinya. .

C. Pemilihan Waktu Yang Baik

Waktu penyelenggaraan upacara ini disesuaikan dengan waktu yang baik menurut ketentuan adat untuk orang Bugis Makassar. Pemilihan waktu baik sangat penting untuk memastikan hasil positif sebuah usaha. Bentuk pengetahuan paling umum yang terkandung dalam kutika / pitika adalah metode – metode penentuan hari – hari baik untuk melakukan suatu kegiatan, termasuk mendirikan rumah. Dewasa ini, perhatian terhadap hari – hari dan waktu – waktu baik dan buruk di Sulawesi Selatan digunakan oleh banyak orang untuk kegiatan – kegiatan rutin seperti memulai perjalanan. Tetapi terutama digunakan untuk kegiatan – kegiatan penting seperti waktu pernikahan, atau tahapan dalam mendirikan rumah (Saing, 1982 atau Sunusi, 1969 menerangkan penggunaannya dalam pembangunan rumah).

Hamid (1994) mengaitkan konsep – konsep hari buruk dan hari baik dengan kepercayaan animisme, yang ia samakan dengan kepercayaan terhadap kesatuan manusia dengan hukum alam (sesuatu yang tersebar pada banyak masyarakat – masyarakat Austronesia) (lihat juga Waterson, 1993 ; Pigeaud, 1983). Manuskrip umumnya berisi daftar – daftar bulan dalam kalender Islam, dengan keterangan – keterangan apakah waktu – waktu tersebut baik untuk kegiatan – kegiatan tertentu, pendirian rumah dan pernikahan seringkali dihubungkan (yaitu, bulan baik untuk pernikahan biasanya juga baik untuk mendirikan rumah).

Manuskrip – manuskrip memberikan keterangan yang sama tentang bulan – bulan yang baik dan buruk, namun berbeda dalam meramalkan hasil atau akibat bagi sang empunya rumah, jika kegiatan itu diadakan para periode tersebut.

- Bulan Muharram bukan waktu baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu menderita.
- Bulan Safar bulan bagus untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu memperoleh keberuntungan.

- Rabi’ul – awal tidak baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu tertimpa musibah kematian.

- Rabi’ul akhir baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu memperoleh kebahagiaan.

- Jumadil awal baik untuk mendirikan rumah ; Sang empunya rumah akan selalu memperoleh keberuntungan.

- Jumadil akhir tidak baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan sakit – sakitan dan dilanda kesulitan – kesulitan lainnya.

- Rajab bukan bulan baik untuk mendirikan rumah. Sang empunya rumah akan mati tertikam dan rumahnya akan terbakar.

- Sya’ban baik untuk mendirikan rumah dan menikah. Sang empunya rumah akan selalu memiliki kekayaan.

- Ramadhan baik untuk mendirikan rumah, juga menyelenggarakan perkawinan. Penghuni rumah akan selalu akrab dengan tetangganya dan akan memperoleh kebahagiaan.

- Syawal tidak baik untuk mendirikan rumah dan menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan tertikam dan rumahnya tidak akan pernah sempurna.

- Zulqa’idah baik untuk mendirikan rumah dan menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan selalu memiliki hubungan yang baik dengan tetangga – tetangganya.

- Zulhijjah baik untuk mendirikan rumah atau menyelenggarakan perkawinan. Sang empunya rumah akan memperoleh ketenteraman. Mereka akan memperoleh banyak emas.


D. Upacara Adat Menre Bola

Jalannya Upacara naik rumah baru ini dilaksanakan pada hari yang telah ditetapkan tuan rumah untuk naik ke rumah baru. Upacara ini dipimpin oleh panrita bola atau sanro bola. Penyelenggaraan upacara diselenggarakan oleh tuan rumah yang dibantu oleh orang tua dari kedua belah pihak (suami isteri). Peserta Upacara terdiri atas suami isteri, keluarga tuan rumah, tukang dengan kepala tukang (tetapi biasanya panitia itu juga mengepalai tukang yang bekerja), dengan seluruh tenaga pembantunya serta tetangga – tetangga dalam kampung itu.

Tahap Upacara Makkarawa Bola.

Makkarawa Bola artinya memegang, mengerjakan, atau membuat peralatan rumah yang telah direncanakan untuk didirikan dengan maksud untuk memohon restu kepada Tuhan agar diberikan perlindungan dan keselamatan dalam penyelesaian rumah yang akan dibangun tersebut. Tempat dan waktu upacara ini diadakan di tempat dimana bahan – bahan itu dikerjakan oleh Panre (tukang) karena bahan – bahan itu juga turut dimintakan doa restu kepada Tuhan. Waktu penyelenggaraan upacara ini ialah pada waktu yang baik dengan petunjuk panrita bola, yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin upacara.

Bahan – bahan upacara yang harus dipersiapkan terdiri atas : ayam dua ekor, dimana ayam ini harus dipotong karena darahnya diperlukan untuk pelaksanaan upacara kemudian tempurung kelapa daun waru sekurang – kurangnya tiga lembar. Tahap pelaksanaan upacara makkarawa bola ini ada tiga, yaitu :

1. waktu memulai melicinkan tiang dan peralatannya disebut makkattang,
2. waktu mengukur dan melobangi tiang dan peralatannya yang disebut mappa,
3. waktu memasang kerangka disebut mappatama areteng.

Setelah para penyelenggara dan peserta upacara hadir, maka ayam yang telah disediakan itu dipotong lalu darahnya disimpan dalam tempurung kelapa yang dilapisi dengan daun waru, sesudah itu darah ayam itu disapukan pada bahan yang akan dikerjakan. Dimulai pada tiang pusat, disertai dengan niat agar selama rumah itu dikerjakan tuan rumah dan tukangnya dalam keadaan sehat dan baik – baik, bila saat bekerja akan terjadi bahaya atau kesusahan, maka cukuplah ayam itu sebagai gantinya. Selama pembuatan peralatan rumah itu berlangsung dihidangkan Kue - kue tradisional seperti : Suwella, Sanggara, Onde-Onde, Roko - roko unti, Peca’ Beppa, Barongko dan Beppa loka, dan lain – lainnya.

Tahap Upacara Mappatettong Bola (Mendirikan Rumah).

Tujuan upacara ini sebagai permohonan doa restu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar rumah yang didirikan itu diberkahi dan dilindungi dari pengaruh-pengaruh roh jahat yang mungkin akan menganggu penghuninya. Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi dimana rumah itu didirikan, sebagai bentuk penyampaian kepada roh-roh halus penjaga – penjaga tempat itu bahwa orang yang pernah memohon izin pada waktu yang lalu sekarang sudah datang dan mendirikan rumahnya. Sehari menjelang dirikan pembangunan rumah baru itu, maka pada malam harinya dilakukan pembacaan kitab barzanji.

Adapun bahan – bahan dan alat – alat kelengkapan upacara itu terdiri tas : ayam ’bakka’ dua ekor, satu jantan dan satu betina. Darah kedua ayam ini diambil untuk disapukan dan disimpan pada tiang pusat rumah, ini mengandung harapan agar tuan rumah berkembang terus baik harta maupun keturunannya. Selain itu, Bahan – bahan yang ditanam pada tempat possi bola dan aliri pakka yang akan didirikan ini terdiri atas : awali (periuk tanah atau tembikar), sung appe (sudut tikar dari daun lontar), balu mabbulu (bakul yang baru selesai dianyam), penno-penno (semacam tumbuh-tumbuhan berumbi seperti bawang), kaluku (kelapa), Golla Cella (gula merah), Aju cenning (kayu manis), dan buah pala. Kesemua bahan tersebut diatas dikumpul bersama – sama dalam kuali lalu ditanam di tempat dimana direncanakan akan didirikan aliri possi bola itu dengan harapan agar pemilik rumah bisa hidup bahagia, aman, tenteram, dan serba cukup.

Setelah tiang berdiri seluruhnya, maka disediakan pula sejumlah bahan – bahan yang akan disimpan di possi bola seperti kain kaci (kain putih) 1 m, diikatkan pada possi bola, padi dua ikat, golla cella, kaluku (kelapa), saji pattapi (nyiru), sanru (sendok sayur), piso (pisau), pakkeri (kukur kelapa). Bahan – bahan ini disimpan diatas disimpan dalam sebuah balai – balai di dekat possi bola. Bahan ini semua mengandung nilai harapan agar kehidupan dalam rumah itu serba lengkap dan serba cukup. Setelah kesemuanya itu sudah dilaksanakan, barulah tiba saat Mappanre Aliri, memberi makan orang – orang yang bekerja mendirikan tiang – tiang rumah itu. Makanan yangf disajikan terdiri atas sokko (ketan), dan pallise, yang mengandung harapan agar hidup dalam rumah baru tersebut dapat senantiasa dalam keadaan cukup. Tahap Upacara Menre Bola Baru (Naik Rumah Baru)

Tujuannya sebagai pemberitahuan tuan rumah kepada sanak keluarga dan tetangga sedesa bahwa rumahnya elah selesai dibangun, selain sebagai upacara doa selamat agar rumah baru itu diberi berkah oleh Tuhan dan dilindungi dari segala macam bencana. Perlengkapan upacara yang disiapkan adalah dua ekor ayam putih jantan dan betina, loka (utti) manurung, loka / otti (pisang) panasa, kaluku (kelapa), golla cella (gula merah), tebbu (tebu), panreng (nenas) yang sudah tua. Sebelum tuan rumah (suami isteri) naik ke rumah secara resmi, maka terlebih dahulu bahan bahan tersebut diatas disimpan di tempatnya masing – masing, yaitu :

(1) Loka manurung, kaluku, golla cella, tebu, panreng dan panasa di tiang possi bola.
(2) Loka manurung disimpan di masing – masing tiang sudut rumah.

Tuan rumah masing – masing membawa seekor ayam putih. Suami membawa ayam betina dan isteri membawa ayam jantan dengan dibimbing oleh seorang sanro bola atau orang tertua dari keluarga yang ahli tentang adat berkaitan dengan rumah. Sesampainya diatas rumah kedua ekor ayam itu dilepaskan, sebelum sampai setahun umur rumah itu, maka ayam tersebut belum boleh disembelih, karena dianggap sebagai penjaga rumah. Setelah peserta upacara hadir diatas rumah maka disuguhkanlah makanan – makanan / kue – kue seperti suwella, jompo – jompo, curu maddingki, lana – lana (bedda), konde – konde (umba – umba), sara semmu, doko – doko, lame – lame. Pada malam harinya diadakanlah pembacaan Kitab Barzanji oleh Imam Kampung, setelah tamu pada malam itu pulang semua, tuan rumah tidur di ruang depan. Besok malamnya barulah boleh pindah ke ruang tengah tempat yang memang disediakan untuknya.

d. Tahap Upacara Maccera Bola.

Setelah rumah itu berumur satu tahun maka diadakanlah lagi upacara yang disebut maccera bola. “Maccera Bola” artinya memberi darah kepada rumah itu dan merayakannya. Jadi sama dengan ulang tahun. Darah yang dipakai maccera ialah darah ayam yang sengaja dipotong untuk itu, pada waktu menyapukan darah pada tiang rumah dibacakan mantra, “Iyyapa uitta dara narekko dara manu”, artinya nantinya melihat darah bila itu darah ayam. Ini maksudnya agar rumah terhindar dari bahaya. Pelaku maccera bola ialah sanro (dukun) bola atau tukang rumah itu sendiri.

E. Dapur Orang Bugis

Istilah dapur (tradisional) disini mencakup pengertian dapur sebagai ruang /bangunan, tempat menyimpan peralatan masak dan tempat berlangsungnya kegiatan makan minum. Eksistensi dapur ini timbul bersamaan dengan diketemukannya api oleh manusia. Dapur bagi orang Bugis sangat dekat dengan proses dan eksistensi keluarga. Keluarga yang masih "hidup" dapat ditengarai dengan dapur yang masih berasap. Sebaliknya sebuah dapur yang sudah tidak berasap lagi menandakan bahwa keluarga pemilik dapur sudah mati.

Dapur tradisional Bugis pada umumnya berbentuk segi empat, mengikuti filsafat orang Sulawesi Selatan yang disebut "Sulapa Eppa" yang artinya "Yang dianggap paling sempurna adalah yang bersegi empat". Bentuk formasi bangunan untuk perletakan tungku ada yang terbuat dari kayu dan ada pula yang diletakkan diatas lantai rumah secara berdampingan. Bangunan dapur tradisional Bugis-Makasar ada yang bertingkat dua. Lantai atas digunakan untuk tempat menyimpan dan mengeringkan kayu bakar atau menyimpan peralatan dapur. Lantai bawah digunakan untuk memasak. Tungku masak yang digunakan kebanyakan masih menggunakan tiga batu yang diatur diatas lantai yang sudah diberi pasir atau tanah. Dalam satu dapur bisa berderet dua sampai tiga buah tungku. Bila masih memerlukan tungku lagi, dibuatlah tungku yang terpisah dengan dapur yang disebut dapo (Bugis) atau palu (Makasar) yang mudah dipindah-pindahkan.

Di beberapa daerah di Sulawesi bagian Selatan, palu yang mempunyai bentuk seperti perahu dengan tiga tatakan sangat dominan dipakai. Sedangkan untuk wilayah utara cukup bervariasi, diantaranya : formasi tiga batu, bentuk silinder, dua besi panjang sejajar, dan lain sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya, dapur tersebut bergeser ke ruang belakang dan dibuatkan bangunan tambahan khusus dibagian belakang atau bagian sebelah kiri bangunan induk. Bangunan khusus untuk dapur ini disebut Jongke atau Bola Dapureng. Jongke ini merupakan tempat pelaksanaan kegiatan penyediaan makanan dan minuman keluarga atau tamu, serta tempat untuk menyimpan makanan dan peralatan masak.

Dapur orang Bugis-Makasar [sesuai dengan pengetahuan lokal para nenek moyang mereka] diusahakan menghadap Utara atau Selatan. Jika dapur menghadap utara maka orang yang memasak akan menghadap ke Selatan, begitu pula sebaliknya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari asap dapur yang sangat dipengaruhi oleh angin musim yang bertiup dari arah barat atau timur. Hal ini masih dipengaruhi lagi oleh letak dan posisi dapur terhadap keadaan lingkungan sekitarnya, seperti daerah perbukitan/ pegunungan. Hal lain yang kurang diperhatikan adalah sistem ventilasi dapur, sehingga kondisi udara di dapur tidak sehat.

Pada umumnya peralatan dapur tradisional orang Bugis-Makasar dapat diklasifikasikan menurut jenis material peralatan tersebut :

a. Terbuat dari tanah liat: dapo/pallu (anglo), Oring tana/Uring buta (periuk), bempa/gumbang (tempayan), dan lain – lain.
b. Terbuat dari logam yaitu: oring beddi/uring bassi (periuk), panci, ceret, pammutu bessi/pamja besi (wajan) piso/ lading (pisau), bangkung / berang parang), baki.
c. Terbuat dari bambu: pabberang api (peniup api), paccipi (penjepit), pattapi (niru), rakki (tempat mengeringkan bahan makanan), jamba (tempat nasi dari anyaman bambu).
d. Terbuat dari kayu: dulang (tempat nasi), piring kayu.
e. Terbuat dari tempurung kelapa: kaddaro innungeng/inungang (gelas tempurung), sinru kaddaro/si'ru kaddaro (sendok tempurung), piring kaddaro.
f. Terbuat dari anyaman: assokkoreng (kukusan), baku-baku (bakul nasi), appanatireng santang(tapisan santan), paberesse/pa'berassang (tempat beras)
g. Terbuat dari batu: pakungeng batu (lesu batu), accobereng/accebekang (cobek)

Fungsi dan Pandangan terhadap Dapur

Fungsi dapur juga mengalami perkembangan mengikuti budaya dan masyarakat. Fungsi dapur sekarang dapat disebutkan sebagai berikut :a. Tempat untuk kegiatan penyediaan dan pengolahan makanan dan minuman untuk keluarga dan tamu. Disini perempuan memegang otoritas penuh atas ruang dan waktu.b. Tempat menyimpan peralatan dan persediaan makanan dan minuman.c. Tempat cuci dan pembuangand. Tempat untuk sosialisasi awal bagi anak perempuan memasuki dunia perempuan serta mempererat hubungan kekerabatan dengan anggota keluarga lain atau tetanggae. Tempat usaha: membuat kue, makanan dan minuman.

Sejalan dengan fungsi-fungsi dapur tersebut, tumbuh nilai-nilai atau norma yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat setempat. Misalnya, untuk menerima tamu (bukan famili), tidak melewati batas ruang tamu, apalagi masuk ruang dapur. Karena dapur merupakan rahasia keluarga / kehidupan rumah tangga, sehingga ruang dapur dibatasi hanya untuk kerabat dekat saja. Pemanfaatan dapur sebagai salah satu bagian rumah juga membawa nilai - nilai atau norma - norma yang harus ditaati. Oleh karena itu ada beberapa perilaku yang tidak boleh dilanggar karena dapat membawa bencana bagi siapa saja yang melanggarnya.

Beberapa pantangan tersebut adalah :

a. Tidak boleh menginjak dapur (tungku), barang siapa menginjak tungku dia akan bersifat seperti kucing (dalam masalah seksual), artinya, orang yang suka menginjak dapur akan suka melanggar norma / nilai di bidang seks.
b. Anak gadis tidak boleh menyanyi di depan dapur. Jika dilanggar dia akan bersuamikan orang tua atau mempunyai anak tiri.
c. Pada saat seorang nelayan turun ke laut, api dapur tidak boleh padam. Hal ini dimaksudkan agar nelayan/suami tersebut selamat pergi dan pulang dari melaut.
d. Pada musim pengolahan tanah, istri petani tidak boleh memberi api dapurnya kepada dapur tetangganya. Hal ini dilarang karena akan mengakibatkan padinya habis dimakan ulat / tikus.
e. Laki - laki tidak boleh bekerja di dapur karena menurunkan derajat laki-laki.
f. Laki - laki (suami) tidak boleh memegang Alat - alat masak. Hal ini menandakan suami tidak percaya kepada istrinya.
g. Tidak boleh memukul anak-anak dengan alat-alat masak seperti sendok dan sebagainya, hal ini menyebabkan anak tersebut menjadi bodoh.

Lambat laun ritual Pemahaman tentang Rumah Adat Bugis Makassar ini telah terkikis, Begitupun Upacara Adat Menre Bola (Makassar : Nai’ Balla) ini sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya karena sudah kurang yang memahami esensi dan tata cara pelaksanaannya, Begitu pula pemahaman tentang Dapur dengan segala etika yang harus ada didalamnya sudah terlupakan.

Saat ini yang banyak kita saksikan apabila ada pembangunan rumah adat (rumah kayu) atau rumah modern (rumah batu), masyarakat melaksanakannya cukup dengan acara syukuran saja dengan mengundang berbagai kerabat dan handai taulan. Meski begitu, semoga tulisan ini bermanfaat, paling tidak mengingatkan budaya dan tradisi yang hilang atau terlupakan itu.