Friday 20 January 2012

i galigo hari ini


Galigo Hari Ini :
1)
 Sanreka nabelleang ka (80, Renrinna to kera e (7), Annung passiona (6)

Arti Bugis Umum : Awwe bateku maddennuang rialena, lemmuha nyawana nabellengka, nakalasiangka

Arti Indonesia : Pupus sudah harapan, kepercayaanku engkau hianati, engkau nodai
...
Penjelasan : Kata sulit sekaligus kata kunci dari Galigo ini terletak pada kata RENRINGNA TO KEERAE dan ANNUNG.

Renringna To Kera’E, merunut pada sejarah dan penuturan beberapa Tetua masyarakat Keera yang sempat kami hubungi, dahulu rumah-rumah masyarakat keera lazim menggunakan anyaman yang terbuat dari daun pohon Sagu. Mengingat saat itu, daerah Keera hingga ke daerah di utaranya (Siwa, Boriko, hingga Luwu) terkenal sebagai penghasil Sagu, sebelum digantikan dengan tanaman cengkeh. Atap anyaman ini disebut atap rumbia yang dalam bahasa bugis disebut BAKKAWENG, berasal dari kata BAKKAA yang berarti melebar.

Annung, merunut pada penjelesan daeng Madong Arisona (dalam diskusi maya di Group Galigo Bugis) annung adalah sejenis pengikat, dibuat dari kulit pohon Annung yang masih muda (sebesar pohon bambu). Dulu di tanah Bugis, saat tanaman padi mulai bernas (berisi)/menjelang masa Arenggalang (panen dengan menggunaka Rakkapeng (Ani-Ani) para petani masuk ke hutan mencari Annung. Batang annung itu kemudian dimemarkan hinga kulit dan kayunya terpisah. Kulitnya itu kemudian dijemur 1-2 minggu, annung yang telah kering dipakai untuk pengikat Wesse. Wesse adalah bahasa Bugis untuk menyebut satuan rimbun padi yang masih melekat pada batangnya dan telah dipotong memakai Rakkapeng tadi. Annung sendiri sesungguhnya bukanlah bahan pengikat yang kuat (rapuh), marafo dalam bahasa bugis.

Dari penjelasan diatas maka Galigo ini bermakna, BERSANDAR DAN AKU TERTIPU, PADA KATA-KATANYA YANG MEMBUAI (MELEBAR), TERNYATA SEMUA HANYA ISAPAN JEMPOL/TAK ADA DASAR YANG KUAT (RAPUH).

2)
Ri Majeppi Mabbicara (8)
Ri Tualonrongpasi (7)
Mappasilolongeng (6)

Arti Bugis Umum
Narekko depale tositoto ri lino, engkamuatu matu seuwwa wettu nato mabbicara na mappasilolongeng.

Arti Indonesia
Kalaulah dunia tak merengkuh cintaku, kelak akan tiba masa yang membuka ruang untuk cinta kita.

Penjelasan

Cukup lama waktu yang dibutuhkan bagi kami untuk mencari makna perkata dari Seri ini, seri terakhir dari serial Galigo pada lagu Bulu Alauna Tempe. Kata kunci dari Galigo ini terletak pada kata MAJENG dan TUALONRONG. Kata Majeng sendiri memiliki makna ALAM KUBUR (Kuburan) namun ada pula yang mengartikannya ALAM BAKA (Akhirat). Kiranya dua makna ini bukanlah masalah besar, karena maksud yang dituju dua kata ini tetap sama, yakni alam kekal. Alam yang didapatkan setelah kematian.

Namun dalam konteks Galigo seri 94 ini, kami cenderung memaknainya sebagai Alam Akhirat. Hal ini merujuk pada kalimat pada baris kedua yakni “Ri Tualonrongpasi”. Meski bagi kami kata ini adalah kata kunci, namun untuk menemukannya makna katanya justru sangat melelahkan dan memakan waktu yang tidak sedikit. Diskusi panjang di dunia maya dan dunia nyata membawa kami pada beberapa asumsi, yakni :

1. Kemungkinan ada kesalahan pengetikan, pelafalan dalam Galigo tersebut seharusnya berbunyi TUALONRANG bukan TUALONRONG. Kata TUA tetap merujuk pada makna Tua, Matua (Sudah tua, Berusia tua, Orang yang sudah tua), sementara Lonrang merujuk pada kata Mallonrang (Membujur, Terbujur, Batang, Sebatang). Jadi kata TUALONRANG bisa dimaknai sebagai sosok orangtua yang telah terbujur kaku, lebih tepatnya telah meninggal.

2. Jika kata TUALONRONG adalah kata yang benar atau kata asli dari Galigo tersebut. Maka maknanyapun tetap senada dengan kata TUALONRANG, namun karena sosok tua yang dimaksud adalah Manusia, maka kata ini tidak tepat. Kata LONRONG biasanya disematkan pada bangkai binatang atau pada untuk menyebut satuan pada buah, sayuran, batang pohon tunggal yang tergeletak atau digeletakkan. Lihat kalimat berikut “Silonrong-lonrong mani anakna iro Manu’E” (Kasian induk Ayam itu, anaknya hanya tersisa satu) atau “Tapasileleangmana bua kiloro’ta silonrong” (berilah saya sayuran buah Kelor tuan).

3. Boleh jadi kata TUALONRONG diatas tidak bermakna terbujur, nama bermakna “seorang diri”, “merana” seperti pada kalimat “Silonrong-longrong” diatas. Jika kata ini yang dipakai makna makna Galigo seri ini berubah menjadi : “Kalaulah dunia tak merengkuh cinta kita, mungkin kita harus merengkuhnya di akhirat atau saat kita berdua telah janda nantinya”. Ingat, kata janda selalu senada dengan makna seorang diri atau merana.

Apapun makna yang tepat, para pembacalah yang dapat menyimpulkan. Silahkan menyimpulkan sambil menunggu terbitnya buku “Bulu Alauna Tempe”, buku yang akan mengupas tuntas makna dari galigo-galigo cantik yang dijadikan lirik lagu Bulu Alauna Tempe. Buku ini akan diterbitkan secara mandiri dengan dana sendiri dan bantuan donatur, oleh beberapa penerbit buku sudah dicap “tidak akan laku dijual”.
3)
 Mammasepi DewataE (8)
Nalolang si Talleang (7)
... Si PomenasaE (6)

Arti Bugis Umum
Engkapa Pakkamasena Puangnge na makkulle siala di PomenasaE

Arti Indonesia
Setelah mendapat Rahmat dari Tuhan yang Maha Esa, maka orang yang sudah berjodoh pasti akan dipertemukan. Meski ia tak saling kenal sebelumnya.

Penjelasan
Galigo ini saya persembahkan khusus buat sahabat saya, daeng Idham Jufri. Yang segera melangsungkan pernikahannya, mempersunting Andi Tenri Ukmi. Beliau berdua dinikahkan melalui proses “Passiodo” oleh keluarga masing-masing. Meski dijodohkan tapi disinilah letak nilai seni dari percintaan mereka. Tak satupun dari mereka berdua yang pernah membayangkan jika kelak mereka akan berjodoh. Kata pepatah Bugis “Sikkoamuatu lolona, barang-barang esso nasikapueng”, pepatah yang sama juga ditemui dalam bahasa Jawa “Tresno, jalaran soko kulino” yang artinya CINTA ITU TUMBUH DARI KEBERSAMAAN. Akh... sungguh indah daeng, ingin kuualangi rasanya.

Satu-satunya kata sulit sekaligus kata kunci dari Galigo ini adalah “SITALLEANG”, berasal dari kata TALLE / NAMPAK. Kata ini sangat jamak ditemukan dalam Lontara Sebboq / Lontara Assikalaibineng ( Kita Persetubuhan Bugis ), yang mengandung makna “TALLE RAPANG BURANEWE NENNIA MAKKUNRAIYYE” / Sudah nyata/nampaklah perbedaan antara pria dan perempuan. Dalam khasanah Budaya Bugis, perbedaan hakiki sosok Pria dan Perempuan hanya dapat dilihat dan dimaknai setelah mereka menikah.

Kata lain dari SITALLEANG yang juga jamak ditemui dalam Lontara Sebboq adalah SIUJURENG / SALING (Baca : Sama-sama) MEMBUJUR. Sebuah kondisi dimana terjadi penyatuan / membujurnya tubuh sang Pria dan Perempuan pada waktu dan kondisi yang bersamaan. Dalam bahasa Bugis kekiniaan, yang tak lagi mengedepankan tata krama dan kesantunan bicara. Kata SITALLEANG dan SIUJURENG, acapkali diganti dengan kata (maaf) MABBAI atau lebih parah lagi MALLAI, MANGCALU, MASSAI (bersetubuh), padahal sejatinya kata-kata ini hanya cocok untuk proses kawin mawin oleh binatang.


4)
Tellongno Siduppa Mata (8)
Takawing Nawa-nawa (7)
... Tasibeta Cinna (6)

Arti Bugis Umum
Cellenimai pale ndi, mauni cinampe bawang, nassau cinnaku. Rilaleng nawa-nawapi upototoki.

Arti Indonesia
Jika demikian, tampakkanlah wajahmu dinda. Meski sejenak, itukan mengobati lara hati. Cukup dalam hati engkau kumiliki.

Penjelasan
Makna kata :
Tellong = Singkaplah, Siduppa = Bertatap, Mata = Mata.
Takawing = Kita Kawing, Nawa-nawa = Angan=angan
Tasibeta = Saling lunas, Cinna = Hasrat

Tidak ada kata sulit dalam Galigo ini, masing-masing baris lugas menawarkan maknanya. Kala sang Pria mendengar penuturan sang Dara, bahwa sudah ada sosok lain dihatinya. Maka pupuslah sudah harapan sang Pria.

Tak ingin pulang dengan tangan hampa, sang pria dengan tutur halusnya, meminta sang Dara. Sudilah kiranya menampakkan wajahnya sejenak. Agar sedikit terobati rasa laranya, meski itu tak mungkin. Tak lupa sang Pria, memaklumatkan kadar cintanya. Jika tak dapat memiliki (meminang) sang Dara di dunia nyata. Cukuplah ia miliki dalam hatinya saja. Ohhhh... sungguh syahdu dan melankolis cintamu Daeng.

Ngototnya sang Pria ingin melihat wajah sang Dara, tentu ada alasannya. Dahulu kala, sangat sulit bagi siapapun untuk melihat apalagi menatap paras seorang perempuan, apalagi yang masih perawan. Dalam khasanah budaya Bugis, jendela kamar seorang dara mesti disertai dengan pintu khusus, jadi siapapun tak dapat melongok kedalamnya. Terlebih, rumah itu itu adalah rumah panggung. Maka jika seorang pria ingin “chating” dengan sang dara, maka itu dilakukan dengan cara menulis surat atau pesan pada secarik kertas atau daun lontar. Lalu dimasukkan dalam buluh bambu, untuk selanjutnya ditiupkan hingga masuk kekamar sang dara. Mirip dengan sumpit. Jadi, sang Pria harus berusaha dan punya keahlian “masseppung” (menyumpit).

Jika pun pada kesempatan tertentu, sang dara keluar dari rumah. Maka dipastikan ia akan mengenakan dua buah sarung. Satu Sarung dipakai untuk menutup tubuh bagian bawah. Satu lagi dipakai untuk menutupi kepala hingga perutnya (ia tetap memakai baju). Sarung dikenakan sedemikian rupa untuk menutupi wajahnya, jangankan untuk melihatnya dari samping, dari depanpun tak mungkin. Bahkan melihat matanya saja tak bisa, lebih tertutup dibanding Burka dari tanah Arab.

5)
 

Narampeanni Widanna
Pawalung masagala
Lao Ri Pammasareng

Arti Bugis umum :
...
Pawelaini tau belalae, maccae, sulessanae
Lao ri tudang maradde’na

Arti bahasa Indonesia :

Telah kembali keharibaanNya, seorang
Sang legenda, cendikiawan, lagi bijaksana
ke tempat peristirahatannya.

6)
Mau Tellu Pabbisena (8)
Na Bongngo Pong Lopinna (7)
... Teawak Nalureng (6)

Arti Bugis Umum
Mauni magaretta, sogi, nennia arung. Naiyya kiya dee namadeceng pahangna, teayaka napubene

Arti Indonesia
Meski ia tampang, kaya dan bangsawan. Tapi, tidak berilmu (agama), sungguh kutakrela dipersuntingnnya.

Penjelasan
Dalam Galigo ini (seri 86), tidak ada kata sulit. Galigo ini adalah jawaban dari Galigo sebelumnya (seri 85), galigo ini juga menegaskan kembali. Bahwa untuk menjadi suami (manusia) seutuhnya tidak hanya Paras, Harta dan Status yang jadi patokan. Seorang suami adalah Imam bagi keluarganya, adalah wajar jika perempuan Bugis (yang berbudaya) selalu mengharapkan sosok pria yang memiliki “ Tiga Pabbise tersebut “ tapi juga memiliki paham / ilmu yang cukup.

Selain konsep Tellu Pabbise tersebut. Dalam memilih jodoh, masyrakat Bugis juga memiliki tatanan / patokan sendiri, yang dikenal dengan konsep “ EPPA SULAFA / WALASOJI “. Yakni, Allakkaing, Allakaingeng, Allekkung, Allekku-lekkungeng, untuk calon suami. Lalu, Abbaineng, Abbainengeng, Abbineng, Abinne-binengeng , untuk calon istri.


7)
Tunrukko Nalureng Toto (8)
... Aja Mulegak-legak (7)
Nasomperengammo (6)

Arti Bugis Umum
Tunrukki, tanukui-nukui totota. Aja tasampeangngi, nassakareng ammaki

Arti Indonesia
Terima dan pasrah sajalah pada suratan nasib / jodohmu. Jangan berlebihan jika engkau tidak menyuakainya, bisa jadi nanti adik diabaikan.

Penjelasan
Galigo ini adalah bentuk rayuan khas seorang Pria Bugis pada perempuan. Kata-katanya singkat tapi menghanyutkan, tegas tapi seolah mengikat. Dengan cantik ia melambungkan hati sang Perempuan, untuk kemudian diikat, justru saat sang Dara masih terasa di awang-wang. Konon jarang, kaum hawa yang mampu melepaskan diri dari rayuan model ini. Setidaknya, dua sejoli warga kita di Group ini telah membuktikannya. 13 hari kedepan, keduanya akan mengikatkan tali-tali asmara mereka di “Lamming Mpulawengna”.

Senanda dengan Galigo seri sebelumnya ( Seri 86 ), dalam galigo ini juga tidak ada kata sulit. Murni mengandalkan permainan kata yang berbalut aturan sastra yang rumit. 8 Suku kata (huruf Lontara) di baris pertama, 7 dan 6 pada baris kedua dan ketiga. Disamping itu, keunikan Galigo-galigo dalam serial Lagu Bulu Alauna Tempe ini juga terletak pada tautan antara bait. Kata terakhir pada baris ketiga pada bait sebelumnya, akan menjadi inspirasi / patokan utama pada Galigo berikutnya. Sebagai contoh, kata “Nalureng” adalah kata terakhir pada baris ketiga pada bait / Galigo seri 86. Nah, kata tersebut kemudian menjadi patokan pada baris pertama Galigo seri 87. Yakni, “Tunrukko Nalureng Toto”.





orginal by : suryadin laoddang

sejarah bugis di tawau

Bugis adalah merujuk kepada individu yang dilahirkan dari keturunan Bugis di sebelah bapanya serta berketurunan Bugis juga di sebelah ibunya. Tidak seperti keturunan campuran atau peranakan seperti Sino ( Cina + Kadazan ). Bangsa Bugis adalah antara golongan bangsa terbesar di rantau Melayu. Terdapat kira-kira lebih 4 juta bangsa Bugis di Sulawesi khususnya di Tanah Ugi iaitu bumi asal keturunan mereka di Sulawesi selatan dan terdapat lebih 1 juta di Kalimantan. Manakala di Sabah, bangsa Bugis juga telah menjadi salah satu kumpulan masyarakat yang terbesar hingga kini. Ini adalah rangkuman daripada jumlah rakyat Indonesia berbangsa Bugis dan juga golongan bangsa Bugis yang telah menjadi sebahagian warganegara Malaysia di Sabah.
Bugis di Sabah ( khususnya Bugis Wajo ) yang datang ketika zaman British dan sebelum Sabah merdeka dianggap penduduk asal atau peribumi di Negeri Sabah ( tidak sama seperti imigran-imigran dari Tanah Besar China atau India ). Ini kerana mereka bukanlah warganegara Indonesia dimana negara Indonesia belum wujud pada ketika itu. Realitinya juga menurut fakta sebenarnya kesemua masyarakat Bugis Wajo di Tawau kini telah pun bercampur keturunan mereka melalui perkahwinan dengan masyarakat Melayu lain seperti Tidung dan Suluk ( yang diiktiraf sebagai penduduk peribumi di Sabah ) yang mana proses ini sudah berlaku lebih seratus tahun di Tawau. Sebaliknya pula majoriti Bugis yang ada di Sabah hari ini pula adalah bekas warganegara Indonesia iaitu Bugis yang berhijrah dari Indonesia tetapi kini sebahagian besarnya telah mempunyai kewarganegaraan Malaysia ( khususnya di Tawau ). Selain itu, berdasarkan dari rekod Jabatan Imigresen Malaysia, 70 % warganegara Indonesia di Sabah juga adalah daripada etnik Bugis. Umumnya kewujudan mereka di Sabah secara meluas agak terkemudian kerana mereka telah bermastautin di sini selepas kewujudan negara Indonesia yang merdeka selepas pada 17 Ogos 1945 iaitu akhir tahun 1960an, 1970an dan kemuncaknya ketika 1980an seterusnya berterusan sehinggalah ke hari ini[perlu rujukan]. Sebab utama rakyat Indonesia ini dahulunya sanggup datang sejauh ini ke Malaysia adalah atas sebab faktor ekonomi yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik di Malaysia berbanding di tanah air mereka.( [1])
Terdapat juga sedikit masyarakat Melayu Tawau yang mempunyai darah Bugis ( telah bercampur darah dan keturunan dengan Melayu lain melalui perkahwinan ) namun golongan orang-orang Melayu yang mempunyai darah Bugis ini tidaklah sama dengan golongan orang-orang Bugis yang berketurunan Indonesia. Bugis Keturunan Indonesia adalah berbeza dengan masyarakat Melayu yang banyak di Tawau ( wujud dari perkahwinan campur di kalangan suku-suku kaum Melayu seperti keturunan Suluk, Tidung, Iban Muslim, Jawa, Banjar dan juga keturunan Bugis sendiri khususnya Bugis Wajo.
Ini kerana orang-orang Bugis asli dari Indonesia ini kurang gemar perkahwinan campur dengan masyarakat Melayu tempatan di Sabah. Sebaliknya mereka cenderung berkahwin dengan sesama sendiri (di kalangan Bugis Indonesia) dan hidup dengan mengamalkan cara hidup mereka sendiri iaitu adat resam dan budaya Bugis atau gaya hidup Indonesia. Mereka juga lebih suka bertutur dengan bahasa Bugis dan menggunakan loghat Bugis jika bertutur dalam bahasa Melayu.
( Nota : Masyarakat Bugis Wajo bukanlah Bugis Indonesia kerana kewujudan mereka di Tawau seratus tahun dulu sebelum kewujudan negara Indonesia. Mereka juga telah berkahwin campur dengan masyarakat Melayu lain dan tidak tahu berbahasa Bugis dan tidak mengamalkan adat dan budaya Bugis. Penghulu Puado, Daeng Mepata ( Mustapa bin Supu ) dan Pengeran Kuning adalah perantau Bugis Wajo asli dari Sengkang dan Kutei. Cucu-cicit mereka yang dikenali orang-orang Melayu ialah Dullah Salim Puado dan Ahmat Mepata.Banyak perkawinan campur di kalangan mereka misalnya Ahmat Mepata berkahwin dengan bangsa Tidung dan Ampong Kerahu ( cucu Puado dan Mepata telah berkahwin dengan cucu Kee Abdullah ( Kee Safiah ) pada tahun 1935.)[2]

Mengikut analisis semasa komuniti Bugis di Sabah boleh dibahagikan kepada 3 bahagian. Pembahagian kumpulan etnik Bugis adalah seperti berikut : Melayu Berdarah Bugis ( 10 % ), Bugis Bertaraf Wargenegara ( 30 % ) , Bugis Indonesia Bukan Bertaraf Warganegara ( 60 % )
Tafsirannya adalah Melayu Bugis ialah masyarakat Melayu Tawau ( campuran darah pelbagai keturunan Melayu melalui perkahwinan ) yang mempunyai darah Bugis namun tidak mengamalkan budaya Bugis dan tidak tahu bertutur dalam bahasa Bugis. Ini kerana kewujudan mereka di Sabah sudah terlalu lama ( ketika penjajahan Inggeris dan pendudukan Jepun )dan keturunan mereka sudah bercampur melalui perkahwinan dengan keturunan Melayu yang lain seperti Tidung, Arab, Suluk,Banjar, Jawa dan Kokos . Jumlah mereka adalah sedikit dan sukar dikenalpasti kerana mereka menganggap diri mereka adalah keturunan Melayu Tawau. Mereka juga hanya tahu bertutur dalam bahasa Melayu dan mengamalkan budaya Melayu.
Tafsiran Bugis Indonesia Bukan Warganegara pula ialah golongan pekerja Indonesia yang berbangsa Bugis yang terdapat di negeri Sabah. Mereka ini bertaraf warganegara Indonesia dan bekerja secara sah di Sabah menggunakan pasport luar negara. Ramai yang sedang memohon taraf kerakyatan di Putrajaya.
Manakala tafsiran Bugis Bertaraf Warganegara pula ialah kumpulan pendatang Indonesia yang dilahirkan di Sulawesi selatan dan datang ke Sabah ( selepas tahun 1947 ) semata-mata untuk bekerja di ladang-ladang. Kemudian mereka melahirkan anak-anak di sini yang kemudiannya mendapat pendidikan di sekolah sekolah kerajaan dan juga universiti-universiti seluruh Malaysia termasuklah Universiti Malaysia Sabah. Hari ini mereka dan anak-anak mereka yang telah dewasa telah pun mendapat taraf warganegara dan mengamalkan bahasa pertuturan Melayu dan budaya Malaysia sepenuhnya. ( Rujuk : Ken Gotlet, Tawau The Making of a Tropical Community, Opus Publication, 2010.)
Kebanyakan komuniti Bugis di Sabah tertumpu di daerah Tawau hingga ke kawasan daerah sekitarnya seperti Kunak dan Lahad Datu. Mengikut sejarah Tanah melayu adalah dipercayai suku kaum Bugis ini telah meninggalkan Kepulauan Sulawesi menuju ke Pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Borneo sejak abad ke-16. [3]Masa kini terdapat puluhan ribu rakyat Indonesia yang berbangsa Bugis berada di Tawau dan menyumbang tenaga mereka yang diperlukan untuk kemajuan Negeri Sabah.
 

Kehadiran Melayu berdarah keturunan Bugis di Tawau

Wujudnya masyarakat Melayu berketurunan darah campuran Bugis di Tawau telah bermula sejak dahulu lagi. Kedatangan perantau dari Tanah Bugis ke Tawau untuk mencari rezeki iaitu ketika Tawau... menjadi sumber ekonomi kepada Kerajaan Syarikat Borneo British. Perantau ini telah menetap di Tawau dan berkahwin dengan masyarakat Melayu lain seperti Suluk dan Tidung dan menjadi sebahagian dari masyarakat Melayu Tawau. Misalnya Ampong Kerahu ( Bugis ) yang berkahwin Kee Safiah ( Cina Suluk ) dan mewujudkan ramai keturunan Melayu hingga ke hari ini. Masyarakat Bugis yang terdahulu semuanya telah bercampur baur keturunan mereka dengan masyarakat Melayu lain dalam tempoh yang lama dan mereka sudah tidak menganggap diri mereka sebagai orang-orang Bugis tetapi sebagai orang-orang Melayu. Mereka hanya tahu bertutur dalam bahasa Melayu dan mengamalkan adat dan budaya Melayu Tawau. Selain itu, mereka juga tidak berasal dari keturunan warganegara Indonesia kerana keturunan mereka wujud dan berhijrah ke Tawau jauh lebih awal sebelum kewujudan negara Indonesia pada 1947 lagi. Mereka telah berada di sini sebelum era pendudukan tentera Jepun lagi dan turut bersama rakyat Melayu tempatan yang lain merasai penderitaan dalam pemerintahan kuku besi tentera Jepun ketika tahun 1941 hingga 1945. Berbanding dengan rakyat Indonesia ( Bugis, Toraja, Timur, Butun ) yang datang ke Tawau setelah Tawau maju sebagai pusat ekonomi perladangan, mereka yang digelar masyarakat tempatan ini tidak boleh disamakan dengan rakyat Indonesia bersuku Kaum Bugis yang berstatus imigran dari negara luar.
Manakala seperti yang diketahui umum, kewujudan rakyat Indonesia berbangsa Bugis di Tawau dan Sabah umumnya, tidak dapat disangkal lagi kerana Tawau adalah pintu masuk ke negara Malaysia yang makmur dengan hasil ekonomi dan peluang pekerjaan yang amat luas kepada rakyat berbanding negara Indonesia yang terlalu padat penduduknya. Bugis di Tawau boleh dibahagi kepada 2 kategori iaitu Melayu keturunan Bugis dan Bugis Tulen. Bugis Tulen adalah berbeza dengan Melayu Bugis.
Melayu Bugis ialah berasal dari kumpulan perantau lelaki kaum Bugis yang datang menetap di Tawau dan berkahwin dengan masyarakat tempatan. Mereka tidak lagi bertutur dalam bahasa Bugis dan tidak mengamalkan adat resam Bugis sebaliknya hanya tahu berbahasa Melayu dan mengamalkan adat tradisi dan cara hidup Melayu Tawau. Sama seperti Masyarakat Melayu keturunan Arab yang tidak tahu berbahasa Arab, masyarakat Melayu keturunan Bugis juga tidak tahu berbahasa Bugis. Masyarakat melayu Bugis ini adalah sebahagian dari masyarakat Melayu. Oleh yang demikian, mereka senang bergaul dengan sesama bangsa Melayu dan anak anak mereka bebas berkahwin di kalangan bangsa Melayu.
Mengikut Sejarah Tawau, 3 kumpulan perantau Bugis ini di antaranya ialah:
Penghulu Puado ( seorang peniaga berbangsa Bugis Wajo yang berniaga di antara Banjarmasin dan Sandakan) mengetuai 25 lelaki terdiri Bugis, Suluk, Bajau dan Tidung dari Sandakan untuk membuka penanaman di Tawau atas galakan Residen Inggeris, William Fryer di Sandakan.[4]
Daeng Passawa atau Pengeran Kuning bersama orang-orang dan ahli keluarganya (masyarakat Bugis Wajo yang menetap di sekitar Samarinda selama ratusan tahun) dari Kutei di Kalimantan Timur, yang bertindak atas arahan Belanda yang juga mahu menguasai kawasan penempatan di Tawau.
Daing Mepata yang mengetuai 85 orang lelaki Bugis Wajo dari Sengkang di Sulawesi Selatan untuk membuka kawasan penanaman kelapa pada di Tawau Lama sekitar tahun 1900an.[5]
Semua lelaki Bugis ini telah berkahwin dengan masyarakat tempatan dan mengamalkan adat dan budaya hidup setempat iaitu adat Melayu. Misalnya Daeng Mepata telah berkahwin dengan gadis Bajau-Suluk Tawau dan anaknya Daeng Kerahu berkahwin dengan gadis Bugis-Suluk Tawau. Ahmat Mepata dan Jainal Kerahu adalah antara orang orang keturunan Melayu Berdarah Campuran Bugis yang dikenali di Tawau dan banyak berjasa kepada masyarakat Melayu Tawau. Serang Saman adalah orang Melayu keturunan Bugis-Suluk yang berkhidmat di pejabat daerah dan pejabat residen Inggeris bersama sama pemimpin pemimpin Melayu lain seperti Kee Abdullah, Imam Mustafa dan Habib Sheikh sekitar tahun 1900an hingga 1920an ( Rujuk : Buku 'Borneo Under The Sun' , Nicholas Chung , Natural History Publication , 2005 ) . Hari ini banyak keturunan daripada Serang Saman ini menjadi sebahagian dari ahli masyarakat Melayu di Tawau. Mereka tidak lagi menganggap diri sebagai orang Bugis kerana keturunan mereka sudah bercampur baur dan berkahwin sesama orang-orang Melayu dari keturunan lain seperti Melayu Banjar, Melayu Jawa, Melayu Peranakan Arab, Melayu Suluk dan Melayu Tidung. Masyarakat Melayu Tempatan di Tawau adalah rumpun Melayu dari pelbagai keturunan seperti Melayu Tidung, Melayu Arab, Melayu Banjar, Melayu Jawa, Melayu Bugis , Melayu Suluk , Melayu Iban Muslim dan lain lain lagi.

( Nota : Menurut sejarah, kewujudan masyarakat Bugis Wajo di daerah Kesultanan Kutai di timur Kalimantan adalah bermula seawal kurun ke 15 iaitu selepas berlakunya Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Perjanjian Bungaya ini ialah perjanjian yang terpaksa ditandatangani oleh Kerajaan Gowa ( Sultan Hassanudin ) selepas dikalahkan oleh angkatan laut Belanda ( Laksamana Speelman ) yang dibantu oleh orang-orang Bugis Bone ( Arung Palakka ) yang menyerang dari darat. Sebahagian orang-orang Bugis Wajo yang menyokong kerajaan Gowa tidak mahu tunduk dan patuh terhadap isi perjanjian Bungaya tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan melawan Belanda. Ada pula yang berhijrah ke tempat lain termasuklah ke daerah Kesultanan Kutai iaitu rombongan yang dipimpin Pua Ado yang pertama. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai. )

 
Kehadiran Bugis Indonesia di Tawau

Bugis tulen di Sabah ini sangat mementingkan akar umbi keturunan mereka. Mereka ini adalah sangat berbeza dan tidak sama seperti masyarakat Melayu yang mempunyai darah keturunan Bugis. Ini menyebabkan Bug...is Tulen ini lebih bersifat mengutamakan kaum atau bangsa sendiri dan mereka tidak suka berkahwin dengan masyarakat Melayu yang ada di Tawau. Bangsa Bugis di Tawau ini sangat menekankan adat dan tradisi Bugis dalam kehidupan mereka dimana adat Bugis mereka ini yang sama diamalkan di Indonesia ini sangat berbeza dengan adat Melayu. Ini menyebabkan cara kehidupan mereka sukar diterima oleh masyarakat Melayu tempatan. Mereka juga lebih suka berhubungan rapat dengan saudara mereka yang masih terdapat ramai di Sulawasi Selatan. Bugis tulen ini sebenarnya adalah masyarakat Bugis Indonesia yang datang mencari kerja di Tawau selepas kewujudan negara INDONESIA. Pada asalnya, jumlah pekerja Bugis Indonesia ini agak terkawal kerana mereka sebenarnya dijemput untuk bekerja di ladang ladang koko, kelapa sawit dan kem kem pembalakan. Namun, setelah Tawau menjadi lubuk pekerjaan yang bergaji lumayan, kehadiran bangsa Bugis Indonesia sudah tidak terkawal. Jumlah mereka ini semakin bertambah hingga ke hari ini sehingga mencecah ratusan ribu orang di seluruh negeri Sabah.
Kehadiran mereka dalam jumlah yang terlalu ramai di Tawau begitu menyesakkan. Walaupun mengundang simpati dengan kesusahan hidup mereka di negara mereka di Indonesia namun dengan sikap sebahagian kecil daripada mereka yang suka mengambil kesempatan dan melakukan penipuan untuk kepentingan diri, mengundang pula banyak masalah kepada masyarakat tempatan. Sebab itulah, mereka dicurigai dan sukar dipercayai walaupun diterima atas dasar kemanusiaan oleh masyarakat tempatan. Mereka kebanyakan tinggal di kawasan penempatan tidak sah yang tidak diwartakan sebagai kampung seperti di kawasan perairan bakau atau di hutan hutan simpan berdekatan bukit. Di Sabah, bangsa Bugis ini tidak diiktiraf sebagai penduk peribumi ( natives ) dan diberikan syarat yang ketat dalam pemilikan Tanah. Bugis Indonesia dapat dibezakan dengan Melayu Bugis ialah melalui nama mereka. Nama nama Bugis di antaranya ialah seperti Bachok, Ambok, Beche, Beddu, Bula, Bolong, Patawari, Mapiase dan Picho. Namun, anak anak mereka sudah tidak lagi menggunakan nama nama Bugis sebaliknya menggunakan nama nama Melayu seperti masyarakat Melayu tempatan. Loghat pertuturan Bugis Tulen atau Bugis sIndonesia ketika menggunakan bahasa Melayu juga berbeza dengan loghat Melayu tempatan namun anak anak mereka sudah malu untuk bertutur menggunakan loghat Bugis Tulen sebaliknya bertutur menggunakan loghat Melayu Tawau tidak seperti ibu bapa mereka yang pekat menggunakan loghat Bugis mereka selain bertutur dalam bahasa Bugis sendiri yang tidak difahami oleh masyarakat tempatan.
Sebenarnya orang orang Bugis ini berasal dari Sulawesi Selatan, Indonesia. Kewujudan mereka di Sabah adalah sejak abad ke-19, iaitu ketika wilayah Tawau menjadi sebahagian daripada kawasan jajahan orang-orang Inggeris iaitu melalui Syarikat (Berpiagam) Borneo Utara. Mengikut catatan The North Borneo Annual Volume (1955-1965) menyatakan sistem pentadbiran bermula pada tahun 1898, iaitu berikutan langkah-langkah pihak Syarikat (berpiagam) Borneo Utara membuka sebuah penempatan di Tawau dan seterusnya mengadakan asas-asas pentadbiran kerajaan tempatan di situ. pada 1947.( Rujuk : Sejarah Penghijrahan Bugis dari Sulawesi selepas Kemerdekaan Indonesia 1947 ). Namun kehadiran perantau Bugis ini tidaklah ramai dan mereka semuanya telah menjadikan diri mereka menjadi sebahagian masyarakat Melayu Tawau. Mereka berkahwin dengan penduduk peribumi tempatan seperti Tidung dan Suluk dan tidak lagi berbahasa Bugis dan mengamalkan adat dan cara hidup Melayu Tawau. Misalnya, Serang Saman, seorang yang mahir dalam pengendalian urusan di pelabuhan telah dilantik oleh kerajaan British untuk menjawat jawatan di pejabat residen bersama sama Penghulu Tawau ( OKK ) iaitu OKK Kee Abdullah. Keturunan Serang Saman ini masih wujud di Tawau hingga ke hari ini dan menganggap diri mereka adalah orang orang Melayu Tawau yang mengamalkan adat dan budaya Melayu. Mereka juga tidak tahu berbahasa Bugis dan tidak ada hubungan dengan rakyat di Indonesia kerana mereka adalah rakyat Malaysia sepenuhnya yang pernah memperjuangkan bangsa Melayu ketika zaman Jepun dan penyatuan bangsa Melayu sebelum merdeka dari penjajahan British. Mereka bersama sama Datuk Abu Bakar Titingan, Penghulu Jainal Kerahu dan ramai lagi pemimpin Melayu bersatu di bawah PKMT ( Persatuan Kebangsaan Melayu Bersatu ) pada 1945 dan seterusnya bersatu di bawah USNO ( Pertubuhan Kebangsaan Sabah Bersatu ) pada 1961.
Namun setelah kemerdekaan Sabah melalui Malaysia pada 1963, telah muncul kehadiran warga-warga indonesia dari bangsa Bugis ke Tawau. Kesukaran mencari pekerjaan di Indonesia menyebabkan mereka sanggup meninggalkan tanah air mereka menggunakan kapal untuk datang mencari rezeki di Tawau yang menjanjikan kehidupan yang lebih menjamin kesenangan. Kehadiran mereka di Sabah asalnya adalah sebagai warga buruh yang bekerja di ladang-ladang koko, ladang-ladang kelapa sawit dan juga di kem-kem pembalakan. Umumnya, masyarakat Indonesia di Sabah, majoritinya adalah daripada kalangan Bugis.( Rujuk : Bancian Data Pekerja Asing di Sabah ). Tak kiralah yang masih memegang pasport pekerja, bekerja secara tidak sah ataupun yang diberikan taraf warganegara Malaysia.

 
Perbezaan Melayu Tawau dengan Bugis asli

Melayu Tawau ialah masyarakat Melayu yang wujud di Tawau sebelum zaman penjajahan lagi dan sebelum zaman pendudukan tentera Jepun di Borneo Utara. Manakala Bugis asli yang merupakan pendatang dari I...ndonesia yang datang ke Tawau setelah kewujudan negara Indonesia. Di Indonesia, mereka dikenali sebagai bangsa Bugis mengikut daerah masing-masing seperti Bugis Rappang, Bugis Bone, Bugis Enrekang dan sebagainya manakala di Sabah mereka diwartakan sebagai bangsa Indonesia sama seperti bangsa Toraja dan Timor yang juga berasal dari Indonesia dan datang ke Tawau ketika zaman kepadatan penduduk dan permasalahan ekonomi di selatan Sulawesi. Walaupun masyarakat Melayu Tawau ada yang berdarah campuran Bugis tetapi mereka tidak tahu langsung bertutur dalam bahasa Bugis sebaliknya hanya tahu bertutur dalam bahasa Melayu Loghat Tawau dan mengamalkan adat tradisi Melayu serta patuh kepada ajaran dan amalan agama Islam yang suci, diwarisi dari nenek moyang mereka yang sememangnya tinggal di Tawau sejak beberapa generasi dahulu. Sebaliknya masyarakat Bugis Asli yang merupakan kumpulan imigran dari negara Indonesia ini masih mengamalkan adat yang diamalkan ketika mereka hidup Indonesia. Mereka sangat patuh kepada adat mereka yang berlainan dengan adat masyarakat Melayu. Perkampungan Bugis Asli ini banyak tertumpu di kawasan perumahan sempit yang dahulunya merupakan tanah kerajaan ( setinggan ) seperti di kawasan bekas bakau di Tanjung Batu Laut, kawasan bekas bakau di Pasir Putih dan kawasan lereng bukit di sekitar Bukit Kukusan. Selain itu banyak juga kawasan perumahan sempit di beberapa kawasan sekeliling lapangan terbang lama Tawau yang ditinggalkan seperti di Sri Menanti, Kampung Sentosa dan Kampung Toraja.

isu peribumi dan pendatang

Konflik perkauman di Sabah: Isu bumiputera dan pendatang asing dari perspektif sosialis


Oleh Muhammad Salleh (Disember 2001)

...
Di merata dunia, dari Britain ke Bosnia, Itali ke Malaysia, konflik perkauman telah menjadi bahasa rasmi bagi perdebatan politik, lalu menggantikan konsep-konsep seperti penindasan dan fahaman bangsa. Tetapi memandang dunia melalui cermin perkauman ini sebenarnya menyembunyikan isu-isu penindasan, lalu memendamkan cara unsur-unsur perkauman ditekankan terhadap penduduk tempatan oleh kuasa-kuasa kelas pemerintah.

Konsep penindasan adalah konsep yang penting bagi pemahaman Marxsis mengenai sejarah dan masyarakat moden. Ia merujuk kepada diskriminasi secara sistematik oleh satu kumpulan sosial terhadap kumpulan sosial yang lain berdasarkan ciri-ciri yang diwarisi seperti warna kulit dan jantina atau ciri-ciri yang dipupuk dari segi sosial seperti kepercayaan agama dan orientasi seksual. Penindasan seperti ini berlaku tanpa mengira garisan kelas, walaupun pengalaman penindasan mungkin lebih kejam lagi berdasarkan struktur kelas sesebuah masyarakat. Penindasan kaum perempuan, misalnya, telah wujud sepanjang kewujudan masyarakat kelas, manakala penindasan kaum-kaum agama adalah terhad kepada sistem kapitalis. Walau apapun sebab-sebabnya, kelas-kelas pemerintah telah melancarkan penindasan terhadap kumpulan-kumpulan tertentu untuk memastikan pembahagian dan pemisahan di kalangan mereka yang diperintah. Sekian lama, kumpulan-kumpulan tertentu telah mengalami penindasan disebabkan bangsa mereka. Corak penindasan ini memang jelas kelihatan di bawah sistem ‘kebumiputeraan’ di Malaysia, dan rencana ini akan membincangkan isu-isu bumiputera dan penindasan kaum di Malaysia, terutamanya di negeri Sabah.

Oleh kerana isu-isu yang dipertimbangkan di sini mungkin disalah-fahami, biarlah saya menjelaskan tujuan rencana ini. Isu-isu ‘bangsa’ atau perihal yang berkenaan dengan suku kaum seseorang biasanya disamakan dengan adat resam, seringkali dengan adat resam golongan-golongan minoriti. Tujuan saya bukanlah untuk mengutuk kepelbagaian bangsa dan adat resam, dan sudah tentu bukanlah untuk menyeru pihak sosialis atau mana-mana kumpulan yang lain mengabaikan tanggungjawab mereka untuk mempertahankan masyarakat di mana adat resam mereka diancam, atau mana-mana masyarakat lain yang mengalami penindasan. Pada abad yang lalu, Vladimir Lenin telah menekan kepentingan pihak sosialis mengutarakan isu-isu penindasan dengan kata-kata yang masih penting pada hari ini: “Kesedaran kelas pekerja hanya dapat menjadi kesedaran politik yang tulin jika para pekerja dilatih untuk memberi tentangan kepada setiap kes kezaliman pemerintah, penindasan, keganasan dan kekerasan, tanpa mengira kelas mana yang diakibatkan – hanya jika mereka dilatih, lebih-lebih lagi, untuk memberi tentangan dari pandangan demokrasi sosial [iaitu, sosialis revolusioner] dan bukannya pandangan yang lain.”[i] Maka, bagi pihak sosialis, tidak terdapatnya perbezaan jika kumpulan-kumpulan tertentu ditindas kerana bahasa, agama, kewarganegaraan atau suku kaum mereka. Dalam setiap kes, tanggungjawab kita adalah untuk mempertahankan mereka yang ditindas dan menunjukkan perpaduan dengan mereka.[ii]

Kebumiputeraan di Malaysia
Sejak beberapa lama, kerajaan Barisan Nasional yang berpusat di Kuala Lumpur telah mengajukan dan meluaskan polisi-polisi perkauman yang mendapat ruang yang cukup luas dalam media massa tempatan. Misalnya, syair Cecil Rajendra, bertajuk The Kingdom of Purplaya[iii],yang diterbitkan baru-baru ini, menimbulkan kontroversi apabila beberapa kumpulan Melayu mendakwa bahawa penyair tersebut mencela kaum Melayu dan mencabar hak-hak istimewa kaum tersebut sebagai kaum ‘asal di Malaysia.’ Sambil Rajendra menafikan dakwaan-dakwaan ini, karya tersebut telah diterbitkan dan disebarkan luas oleh beberapa akhbar tempatan, termasuklah Utusan Malaysia.[iv]

Apakah asal-usul hak-hak keistimewaan kaum ‘bumiputera’ ini? Dari segi sejarah, semasa kemerdekaan pada tahun 1957, kaum Melayu telah membuat perjanjian yang meneraskan ‘keistimewaan’ bagi kaum mereka lalu ‘menghadiahkan’ status kewarganegaraan kepada kaum-kaum bukan Melayu (perjanjian ini juga melibatkan keutamaan ekonomi bagi kaum Cina). Pada masa itu, ia dipersetujui bahawa “sesiapa yang dilahirkan di Persekutuan Malaya pada atau selepas Hari Merdeka (31hb Ogos, 1957) akan menjadi rakyat dari segi undang-undang.” Namun demikian, Artikel 159 dalam perlembagaan Malaysia telah digunakan untuk mengutamakan ‘hak-hak istimewa’ bagi kaum Melayu dan kaum-kaum peribumi. Artikel tersebut adalah berkenaan dengan tanggungjawab kerajaan untuk mempertahankan kedudukan khas kaum Melayu dan warga-warga kaum peribumi di negeri Sabah dan Sarawak. ‘Kedudukan khas’ ini diterajui oleh kerajaan-kerajaan Malaysia, termasuklah kerajaan Barisan Nasional yang berkuasa pada hari ini. Tujuannya adalah untuk memastikan ‘keistimewaan’ bagi golongan bumiputera, termasuk kaum Melayu dan kaum-kaum peribumi di Sabah dan Sarawak, dalam pertubuhan-pertubuhan pendidikan seperti universiti, perkhidmatan awam, pekerjaan dalam firma-firma kerajaan dan dalam permohonan lesen atau pinjaman wang bagi perniagaan.

Melalui pindahan akta dan penggubahan perlembagaan sejak itu, kerajaan Malaysia telah memajukan konsep kewarganegaraan pada tahap persekutuan yang sebenarnya berdasarkan fahaman perkauman. Misalnya, Pindaham Perlembagaan 1971 dan pindahan-pindahan yang berikutan telah meletakkan kaum Melayu pada kemuncak hierarki perkauman. Jika dikaji secara global, polisi ini begitu berbeza daripada polisi-polisi yang agak mirip di Amerika Syarikat dan beberapa negara Eropah, di mana ‘keistimewaan’ telah diberikan kepada kaum-kaum minoriti berdasarkan diskriminasi bersejarah. Di Amerika Syarikat, misalnya, mekanisme tersebut pernah digunakan (kononnya) untuk memperbaiki kekurangan perwakilan kumpulan-kumpulan minoriti yang tertindas.

Konsep kewarganegaraan yang berteraskan perkauman Melayu sudah lama mengancam kumpulan-kumpulan bumiputera yang lain, termasuklah kaum Iban di Sarawak dan kaum Kadazan-Dusun di Sabah, serta kaum-kaum bukan Melayu di Semenanjung Malaysia, seperti Orang Asli. Hak-hak keistimewaan ini menjadi isu hangat apabila memorandum kumpulan Su Qiu, yang dikeluarkan sebelum pilihanraya umum pada tahun 1999, menentang hak-hak keistimewaan tersebut, sambil mempertengahkan isu-isu keadilan sosial, pembahagian kekayaan negara, pembanterasan rasuah, dan sebagainya. Isu bumiputera juga mendapat paparan berkali-kali dalam akhbar tempatan berkenaan dengan kuota bumiputera dan bukan bumiputera bagi jawatan Ketua Menteri Sabah.

Berkenaan khusus dengan Sabah dan Sarawak, oleh kerana kaum Kadazan-Dusun dan kumpulan-kumpulan peribumi yang lain adalah kaum ‘bumiputera’ di negeri-negeri masing-masing, mereka berhak menerima polisi-polisi keistimewaan bukan sahaja di negeri mereka sendiri tetapi juga di Semenanjung Malaysia. Misalnya, Bahagian V dari Artikel 41 Perlembagaan Negeri Sabah adalah berkenaan dengan perihal yang mempertahankan kedudukan kaum-kaum peribumi.[v] Kaum-kaum peribumi dalam erti kata ini sebenarnya memaksudkan kaum-kaum seperti Kadazan-Dusun, Murut, Bajau, Suluk, Orang Sungai dan kaum peribumi yang lain di Sabah. Ia tidak melindungi kumpulan-kumpulan lain yang berhijrah ke Sabah selepas penubuhan Malaysia pada tahun 1963, seperti kaum Melayu, Cina dan India dari Semenanjung Malaysia, dan pendatang-pendatang asing dari Filipina dan Indonesia.[vi]

Penghakisan hak-hak kaum peribumi Sabah
Walaupun kaum Kadazan-Dusin di Sabah patut diberikan keistimewaan dalam teori, dari segi amalan hak-hak kewarganegaraan kaum-kaum tersebut semakin dihakis. Ramai pemimpin parti-parti pembangkang di Sabah mendakwa bahawa hak-hak kaum-kaum peribumi tertentu tidak diberikan keutamaan, dan isu ini telah menjadi pertikaian semasa pilihanraya umum dalam beberapa tahun yang lalu. Bahkan terdapat juga golongan-golongan tertentu di Sabah yang mendakwa bahawa kaum Melayu dilayani sebagai bumiputera kelas pertama sambil kaum Kadazan-Dusun dan kaum-kaum peribumi yang lain dilayani sebagai bumiputera kelas kedua.[vii] Dakwaan-dakwaan hierarki kewarganegaraan ini adalah berdasarkan pengalaman diskriminasi atau pemungkiran janji oleh kerajaan yang menjanjikan kaum-kaum itu hak-hak istimewa setanding dengan kaum Melayu.

Kaum Kadazan-Dusun berpendapat bahawa mereka berhak menikmati polisi-polisi keistimewaan kerana ini menjadi salah satu syarat bagi Sabah menjadi sebahagian daripada Malaysia pada tahun 1963. Misalnya, keistimewaan bagi bumiputera Kadazan-Dusun sepatutnya diberikan dalam pertubuhan-pertubuhan pendidikan dan pusat-pusat pendidikan tinggi, serta dalam birokrasi kerajaan.[viii] Sebenarnya, tuntutan-tuntutan seperti ini adalah berdasarkan dakwaan bahawa kaum peribumi di Sabah, termasuklah kaum Kadazan-Dusun, adalah ‘kaum pertama’ yang menjejak kaki di Sabah dan, oleh kerana itu, berhak menerima keistimewaan. Dakwaan ini tidak dapat difahami berpandukan garisan agama semata-mata (misalnya, agama Kristian menentang agama Islam) kerana pemimpin-pemimpin parti politik pembangkang di Sabah mengambil langkah untuk mengumumkan bahawa kaum-kaum peribumi di Sabah (dalam pengertian mereka) juga melibatkan kumpulan-kumpulan Islam seperti Orang Sungai, Bajau dan Suluk. Meskipun itu, dakwaan bahawa sesebuah kaum peribumi berhak menerima keistimewaan kerana mereka adalah ‘kaum pertama’ di sesebuah tempat adalah perdebatan yang merbahayakan. Misalnya, dakwaan yang hampir serupa digunakan oleh kerajaan Yahudi di Timur Tengah untuk menindas rakyat Palestin dan menduduki negara mereka.[ix] Ini bukanlah sama dengan mengatakan bahawa parti-parti pembangkang haluan utama di Sabah ingin memerdekakan Sabah dari Malaysia; sebaliknya, perdebatan saya adalah bahawa politik berdasarkan perkauman adalah tipu-helah yang digunakan oleh ahli-ahli politik pembangkang Sabah untuk mendapat sokongan daripada kaum-kaum peribumi Sabah.

Meskipun ini, pemimpin-pemimpin dan akaliah-akaliah Kadazan-Dusun mendakwa bahawa pegawai-pegawai kerajaan seringkali mentafsirkan ‘keistimewaan bagi bumiputera’ sebagai bermaksud keistimewaan bagi kaum Melayu-Islam, lalu mengetepikan kaum Kadazan-Dusun di Sabah. Ini memang jelas kelihatan apabila kaum Kadazan-Dusun dan kaum-kaum peribumi dari Sabah dan Sarawak menuntut kelayakan bumiputera di Semenanjung Malaysia. Mereka mendapati bahawa kaum Melayu dianggap sebagai rakyat pertama, dan kaum-kaum lain sebagai rakyat bawahan atau rakyat kedua. Oleh yang demikian, ia didakwa bahawa hak-hak kewarganegaraan kaum-kaum peribumi di Sabah (dan juga Sarawak) sedang dihakis.

Dari Semenanjung ke Sabah
Selepas kemerdekaan, kerajaan persekutuan di Kuala Lumpur mencuba menekan kemajuan pada tahap yang sama-rata bagi setiap negeri melalui perbadanan-perbadanannya. Namun, salah satu akibat daripada usaha ini adalah keengganan kumpulan-kumpulan tertentu di Sabah dan Sarawak untuk menerima ‘pendatang asing.’ Keadaan ini dilanjutkan oleh polisi-polisi kerajaan di mana salah satu golongan diberikan keutamaan sebelum golongan yang lain. Seringkali, kaum-kaum Kadazan-Dusun di Sabah menganggap penghijrah dari Semenanjung Malaysia sebagai penghijrah dari negara asing. Ini tidaklah menghairankan apabila kita meneliti sistem kerajaan di Malaysia, di mana kerajaan tempatan (misalnya, di Sabah) dibenarkan mengutarakan polisi-polisi pentadbiran yang agak berbeza daripada polisi-polisi kerajaan persekutuan di Kuala Lumpur.

Sabah menjadi sebahagian daripada Malaysia pada tahun 1963 dengan syarat-syarat khas yang digubahkan untuk mempertahankan negeri tersebut berkenaan dengan hal-hal seperti keagamaan, kedudukan kaum peribumi dan bumiputera, bahasa, pendidikan dan lain-lain.[x] Salah satu daripada pertahanan ini adalah kawalan imigrasi, di mana pertahanan disediakan agar kaum-kaum peribumi tidak diketepikan sambil penghijrah dari Semenanjung Malaysia yang mempunyai pendidikan dan latihan yang lebih baik membanjiri negeri itu. Namun, salah satu kajian yang terdapat dalam buku Jeffrey Kitingan bertajuk The Sabah Problem menunjukkan bahawa hanya 19 daripada 89 jabatan persekutuan di Sabah pada tahun 1989 diketuai oleh penduduk Sabah; jabatan-jabatan lain diketuai oleh penghijrah-penghijrah dari Semenanjung Malaysia.[xi] Jelasnya, kawalan-kawalan imigrasi yang diwujudkan untuk ‘mempertahankan’ Sabah daripada dibanjiri penghijrah dari Semenanjung Malaysia tidak berfungsi dengan baik.

Lebih-lebih lagi, kedudukan perlembagaan bagi imigrasi di Sabah dan Sarawak yang begitu rumit tidak menyenangkan isu ini. Menurut Artikel 9 Perlembagaan Persekutuan, Sabah dan Sarawak dibenarkan mengawal imigrasi ke dalam negeri-negeri tersebut.[xii] Maka, di bawah perintah Parlimen, seseorang mungkin dihalang daripada memasuki Sabah atau Sarawak, atau sebaliknya, dibuang negeri dari kedua-dua negeri itu. Misalnya, seorang aktivis dari Switzerland, Bruno Manser, pernah dibuang negeri dari Sarawak apabila menyuarakan masalah-masalah kaum Penan.[xiii] Serupa dengan ini, Tan Seng Hin dibuang negeri dari Sarawak pada bulan Januari 2001, walaupun sudah menetap di negeri tersebut selama 23 tahun.[xiv] Kadang-kala, undang-undang ini digunakan untuk menghalang penduduk tempatan dari Sabah dan Sarawak meninggalkan negeri-negeri tersebut. Misalnya, pada bulan Ogos 1993, pasport seorang aktivis dari Sarawak, Jok Jau Evong, dirampas oleh Jabatan Imigrasi, kerana dia didakwa berkelakuan dengan cara yang tidak berpatutan dengan “kepentingan negara.” Jok, seorang petani, terlibat dalam kempen anti-pembalakan dan pernah mendakwa bahawa kerajaan Malaysia sedang memusnahkan alam sekitar dengan pembalakan tanpa kawalan.[xv] Kuasa-kuasa kerajaan persekutuan untuk melarang seseorang daripada memasuki atau meninggalkan Sabah dan Sarawak di bawah Akta Imigrasi, serta keperluan rakyat Semenanjung Malaysia untuk memohon kebernaran bertulis untuk memasuki negeri-negeri tersebut, bermaksud bahawa rakyat Semenanjung Malaysia seringkali dianggap sebagai ‘pendatang asing.’

Oleh yang demikian, konsep kewarganegaraan pada tahap negeri yang agak berbeza daripada kewarganegaraan pada tahap kebangsaan menekan lagi keadaan di mana kaum bumiputera tidak dilayani dengan sama berdasarkan tempat asal mereka. Dari segi ini, maksud ‘menjadi seorang warganegara Malaysia’ kini lebih rapat dengan maksud ‘berasal dari Semenanjung Malaysia’ atau ‘berbangsa Melayu.’ Masyarakat-masyarakat Semenanjung Malaysia dan Sabah yang dipisahkan bukan sahaja oleh Laut Cina Selatan, bahkan juga oleh penghadan pada pergerakan rakyat Semenanjung Malaysia ke Sabah sedang mewujudkan kewarganegaraan yang berbeza bagi kedua-dua bahagian Malaysia ini. Secara ringkas, rakyat Semenanjung Malaysia dilayan sebagai ‘pendatang asing’ di Sabah dan Sarawak, sambil rakyat Sabah dan Sarawak pula dilayan sebagai ‘pendatang asing’ di Semenanjung Malaysia.

Masalah pendatang haram di Sabah
Penghijrah tetap dari Kepulauan Sulu ke Sabah datang pada hujung abad ke-15 apabila pihak penjajah Spain mula menyerang Sulu dan Tawi-Tawi di selatan Filipina. Ombak penghijrahan kedua bermula semasa perjuangan Mindanao pada tahun 1970-1977, apabila beribu-ribu penduduk Filipina melarikan diri daripada negara asal mereka akibat peperangan. Kebanyakan daripada penghijrah ini akhirnya menetap di Sandakan, Tawau dan Lahad Datu. Selepas tahun 1978, jumlah pendatang haram ke Sabah meningkat secara mendadak. Pendatang-pendatang ini tidak dianggap sebagai pelarian kerana keadaan di selatan Filipina dikatakan telah menjadi semakin baik selepas perjanjian Gerakan Pembebasan Kebangsaan Moro (MNLF) dengan kerajaan Manila pada bulan September 1996. Maka, ia diperdebatkan bahawa pendatang-pendatang terbaru ini adalah penghijrah ekonomi yang mencari kehidupan yang lebih baik di Sabah.

Geografi Sabah membantu kemasukan pendatang haram ke Sabah tanpa kawalan. Sabah mempunyai persisiran pantai sepanjang 250 batu dan jaraknya yang dekat dengan perairan Filipina membenarkan penghijrah pulang-balik di antara sempadan Filipina-Malaysia. Lebih-lebih lagi, pulau-pulau di antara Sabah dan Filipina, di Laut Sulu, menjadi tempat perlindungan bagi perompak laut.[xvi] Pada hari ini, ia sudah menjadi ketahuan ramai bahawa kebanyakan penduduk Sandakan sebenarnya berasal dari Filipina, sambil pendatang asing dari Indonesia telah menjadikan Tawau sebagai destinasi mereka.

Menurut pendatang-pendatang asing ini, usaha mereka untuk menjadi ‘warganegara’ sah di Malaysia digalakkan oleh rancangan-rancangan kerajaan, atau melalui perkahwinan, perasuahan, atau mendapat status pelarian. Misalnya, pendatang-pendatang asing berkata bahawa ia sememangnya senang untuk memperolehi kad pengenalan. Misalnya, akhbar Borneo Post pernah melaporkan bahawa kad pengenalan boleh dibeli untuk RM$10.[xvii] Tidak lama selepas ketibaan mereka di timur Sabah, pendatang-pendatang ini akan berpindah ke bandar-bandar di barat Sabah, termasuklah Kota Kinabalu. Misalnya, Pulau Gaya (yang terletak berhampiran dengan perairan Kota Kinabalu) telah menjadi tapak utama bagi pendatang-pendatang baru. Walaupun kebanyakan penduduk pulau tersebut tidak mempunyai hak kewarganegaraan yang sah, Pulau Gaya mempunyai bekalan elektrik, sebuah sekolah dan sebuah masjid tersendiri.

Pelbagai perangkaan disebut untuk menjelaskan betapa ramainya pendatang asing berada di negeri Sabah.[xviii] Beberapa anggaran mengatakan bahawa jumlah pendatang asing di Sabah sudah melebihi satu juta (jumlah penduduk Sabah adalah 2.8 juta).[xix] Jika anggaran ini benar, ia bermakna bahawa hampir satu pertiga daripada penduduk Sabah adalah pendatang asing. Lebih-lebih lagi, kebanyakan pendatang haram yang dibuang negara akan kembali dalam beberapa hari. Walaupun kes-kes jenayah dan masalah rumah setinggan adalah isu-isu penting, kaitan pendatang haram dalam pilihan raya adalah isu yang paling mendapat penyuaraan oleh penduduk tempatan dan media massa.

Haram menjadi sah
Ia memang jelas bahawa terdapatnya pegawai-pegawai kerajaan negeri Sabah yang terlibat dalam proses menjadikan pendatang-pendatang haram ke negeri Sabah penduduk ‘sah.’ Dalam tahun-tahun yang lalu, beberapa kes telah memasuki pandangan media massa, di mana calon-calon pilihanraya yang terkenal di Sabah didakwa terlibat dalam kes-kes pemalsuan kad pengenalan. Misalnya, pada tahun 1999, seorang calon parti pembangkang dari daerah Likas, Dr. Chong Eng Leong, memberitahu makhamah bagaimana beberapa orang ahli UMNO ditahan dibawah Akta Keselamatan Dalam Negeri (ISA) kerana pembabitan mereka dalam kes pemalsuan kad pengenalan.[xx] Beberapa orang pegawai dari Jabatan Pendaftaran Kebangsaan juga ditahan kerana pembabitan mereka dalam kes ini. Menurut seorang daripada tahanan tersebut, sejumlah 130,000 pendatang asing diberikan kad pengenalan di bawah projek pemalsuan tersebut.[xxi] Menurutnya lagi, tujuan projek tersebut adalah untuk meningkatkan jumlah penduduk Islam di Sabah.

Mahkamah Tinggi Kota Kinabalu akhirnya mengisytiharkan keputusan pilihan raya kerusi Likas yang diadakan pada tahun 1999 itu sebagai batal kerana terdapat “pengundi hantu yang tidak wujud dalam daftar pemilih kawasan tersebut.”[xxii] Menurut hakim yang mendengar kes tersebut, “Kewujudan pengundi bukan di kalangan warganegara dan pengundi hantu dalam daftar pemilih seperti yang disebutkan dalam perbicaraan mungkin hanya bahagian kecil daripada sesuatu yang lebih besar.”[xxiii] Dr. Chong mendakwa terdapat pengundi daripada kalangan bukan rakyat Malaysia yang mengundi di kawasan Likas kerana Suruhanjaya Pilihan Raya tidak mengeluarkan nama pengundi hantu itu daripada senarai pengundi walaupun bantahan telah dibuat semasa siasatan umum sebelum pilihan raya itu.[xxiv]

Ini hanyalah satu kes terkenal daripada beberapa kes yang muncul di mata negara dalam beberapa tahun yang lalu. Ramai penduduk Sabah berpendapat bahawa strategi ini hanyalah cara terbaru untuk mendiamkan tuntutan-tuntutan mereka. Sememangnya, strategi seperti ini bukanlah sesuatu yang baru, tetapi pada masa apabila globalisasi sedang mencabar polisi-polisi imigrasi berdasarkan suku kaum, strategi kerajaan Barisan Nasional ini semakin mendapat perhatian. Secara lazimnya, ia mungkin dikatakan bahawa matlamat strategi ini adalah untuk mengubah demografi negeri Sabah, agar penduduk Melayu-Islam menjadi kaum yang terbesar. Oleh kerana kesamaan adat resam dan keagamaan, pendatang-pendatang asing dari Indonesia dan Filipina disambut baik oleh kerajaan Barisan Nasional di Sabah, dan lama-kelamaan pendatang-pendatang asing itu akan menjadi ‘rakyat Malaysia.’ Malah, bekas Ketua Menteri Sabah, Harris Salleh, pernah berkata bahawa kaum “Kadazan akan menjadi seperti kaum Sikh di India pada hari ini, sebuah bangsa yang sentiasa di bawah pengawasan bangsa majoriti.”[xxv]

Unsur Islam di kalangan pendatang-pendatang asing ke Sabah dilihat sebagai ‘alat’ yang dapat digunakan untuk mengubah corak pengundian di Sabah demi kebaikan parti-parti Melayu seperti UMNO. Misalnya, M. D. Mutalib telah mendedahkan beribu-ribu pendatang haram yang mempunyai kad pengenalan palsu dan kemungkinan besar telah mengundi dalam pilihanraya negeri.[xxvi] Buku Mutalib tersebut menyeneraikan nombor-nombor kad pengenalan pendatang-pendatang haram itu, gambar-gambar mereka, dan juga nombor kad pengenalan atau pasport Filipina atau Indonesia mereka.[xxvii] Malah, beberapa akhbar harian telah mendakwa bahawa pendatang-pendatang haram diberikan beras, duit dan jala ikan agar mereka mengundi untuk parti-parti tertentu semasa pilihanraya.[xxviii] Kad-kad pengenalan palsu tersebut dihadiahkan dengan syarat penerima-penerimanya mengundi untuk parti-parti Barisan Nasional.

Isu kad pengenalan palsu sememangnya telah menjadi isu hangat, terutamanya di Kota Kinabalu, hasil kes-kes makhamah yang dimulakan oleh calon pembangkang. Misalnya, pada bulan November 1999, akhbar Borneo Post memaparkan kisah seorang pendatang haram yang telah mengundi dalam lima pilihanraya negeri Sabah, iaitu tiga kali di Sembulan dan dua kali di Kuala Penyu.[xxix] Menurut akhbar itu, pendatang asing tersebut tidak pernah memohon untuk kad pengenalan atau mengisi borang-borang untuk tujuan itu. Menurut beberapa pemimpin kaum-kaum peribumi di Sabah, kerajaan persekutuan dengan beberapa golongan dalam negeri ingin mendiamkan hak-hak politik kaum-kaum peribumi di negeri tersebut.[xxx] Yang jelas adalah bahawa kaum ‘Melayu asing’ yang diwujudkan dengan ‘pengesahan’ pendatang-pendatang haram dari Indonesia dan Filipina dapat membantu parti Melayu-Islam yang utama, iaitu UMNO, untuk mengekalkan penguasaannya di Sabah sambil memastikan yang parti-parti politik berteraskan kaum-kaum peribumi tidak lagi memasuki kerajaan.

Perasaan bahawa kaum-kaum peribumi di Sabah sedang dikuasai dan didiamkan oleh ‘pendatang asing,’ biarpun mereka datang dari Semenanjung Malaysia atau luar negara, begitu nyata di kalangan kumpulan-kumpulan bukan Islam di Sabah. Yang menjadi masalah adalah ancaman isu ini meletus akibat kegiatan keganasan terhadap pendatang asing, seperti yang dilihat di Indonesia semasa krisis kewangan pada tahun 1997 dan baru-baru ini di Kalimantan. Dalam pada itu, keselamatan negeri Sabah sendiri telah menjadi isu penting selepas dua kes penculikan di sempadan timur Sabah oleh kumpulan pemberontak Abu Sayyaf. Pada 23hb April 2000, 21 orang, termasuk beberapa orang pelancong asing, diculik dari Pulau Sipadan oleh kumpulan tersebut, yang berasal dari Jolo di Filipina. Kumpulan Abu Sayyaf juga bertanggungjawab untuk penculikan tiga orang rakyat Malaysia pada 10hb September 2000 dari Pulau Pandanan.[xxxi] Isu ini kembali ke dalam arena media massa selepas penahanan Nur Misuari, bekas pemimpin MNLF, di Sabah pada 24hb November 2001.[xxxii]

Pertimbangan dari segi sosialis
Apakah punca utama yang membangkitkan persefahaman perkauman atau bangsa ini? Sememangnya, kes kebumiputeraan dan perihal perkauman di Malaysia bukanlah sesuatu yang unik di arena antarabangsa. Kita sedang menyaksikan pembangkitan semula gerakan-gerakan perkauman di merata dunia. Misalnya, sejak tahun 1990, sekurang-kurangnya 20 buah negara baru telah diwujudkan berdasarkan kaum utama dalam sesebuah masyarakat. Jelasnya, perihal perkauman telah menjadi isu utama dalam kehidupan politik dan sosial di hampir setiap benua. Di merata dunia, termasuklah di Sabah, kerajaan-kerajaan semakin mengalami kegagalan untuk menawarkan pengagihan sosial bagi golongan-golongan termiskin. Dan beberapa kawasan di dunia, seperti di Afrika, telah menyaksikan peningkatan kemiskinan dan juga penumbangan sosial yang diakibatkan oleh krisis ekonomi, dan ini tidak dapat dihalang atau diperbaiki oleh kerajaan. Dalam keadaan-keadaan seperti ini, masyarakat perkauman, yang biasanya diwujudkan oleh kuasa-kuasa penjajahan, mungkin menawarkan apa yang gagal diberikan oleh kerajaan. Rwanda memberikan contoh mengerikan di mana pembunuhan beramai-ramai pada tahun 1994 dapat dikatakan berpunca bukan sahaja dari peluahan keganasan perkauman tradisional, tetapi juga dari kesan penjajahan di Afrika Tengah.

Tekanan yang sama juga dapat dilihat bergelora di Sabah. Di mana reformasi parlimen semakin susah dicapai, terdapat dua alternatif bagi memperbaiki keadaan penduduk. Salah satu daripadanya adalah perjuangan kelas, untuk memaksa pengagihan semula kekayaan dari pihak borjuasi dan kelas pemerintah kepada kelas pekerja, atau dengan memaksa kerajaan mengambil langkah untuk memperbaiki keadaan rakyat dengan meluluskan perundangan baru atau dengan meningkatkan pencukaian terhadap kaum kaya. Alternatif kedua, dan alternatif yang diterajui oleh parti-parti pembangkang seperti Parti Bersatu Sabah dan, secara umumnya, parti-parti lain seperti Keadilan, tidak menuntut pengagihan semula kekayaan dari kelas kapitalis kepada kelas pekerja – sebaliknya, mereka mencuba mengagihkan kekayaan dari satu bahagian kelas pekerja ke bahagian yang lain, atau dari satu kawasan ke kawasan yang lain, atau dari satu kaum ke kaum yang lain. Misalnya, satu penyelesaian yang biasanya dikemukan oleh parti-parti politik haluan utama adalah untuk kerajaan persekutuan mengagihkan kekayaan yang ‘dirampas’ dari Sabah kembali ke Sabah. Sebaliknya, terdapat pemimpin-pemimpin politik, seperti yang sudah dibincangkan di atas, yang menuntut pengagihan kekayaan mengikut garisan perkauman.

Strategi kedua ini mempunyai sejarah panjang di Britain, misalnya, dan bermula sejak awal tahun 1960-an lagi. Ambalavaner Sivanandan pernah membincangkan bahawa “perlumbaan untuk mendapat pertolongan dari kerajaan dan untuk pembiayaan kerajaan… pada dasar keperluan kaum dan masalah perkauman” oleh kumpulan-kumpulan minoriti selepas rusuhan bangsa Brixton pada tahun 1981.[xxxiii] Masalah pendekatan ini bukan sahaja perjanjian birokrasi dan pendiaman tuntutan-tuntutan radikal yang diperlukan untuk membawa perubahan sebenar, tetapi juga bahawa persaingan di antara masyarakat-masyarakat dan kaum-kaum berlainan akan terus membahagikan mereka, lalu menguatkan kelas pemerintah. Di mana pembiayaan dan pelulusan dapat dimenangi juga, ia tidak akan dinikmati oleh kelas pekerja dan rakyat jelata, kerana kelas menengah dan kaum kaya mempunyai pengaruh yang lebih besar dan secara lazimnya akan menelan apa-apa kemenangan yang diperolehi.

Perkauman dan rasisme
Masalah yang mungkin muncul dari isu-isu perkauman ini adalah bahawa golongan-golongan tertentu akan mula mengutarakan ideologi rasisme. Martin Barker, seorang ahli falsafah Marxsis telah memperdebatkan bahawa kita sedang menyaksikan penimbulan ‘rasisme baru’ yang:

… dapat menolak pencelaan: ia tidak perlu mengutarakan perkataan-perkataan seperti ‘nigger,’ ‘wog’ atau ‘coon.’ Ia tidak perlu melihat kaum Yahudi sebagai kaum yang tidak bermoral, atau kaum berkulit hitam sebagai ‘arnab hutan.’ Meskipun itu, dengan cara yang tersirat tetapi efektif, rasisme baru ini membenarkan emosi-emosi kemarahan yang kemudiannya diluahkan dengan ungkapan-ungkapan seperti ini.[xxxiv]

Apa yang menakutkan adalah bahawa konsep ‘perkauman,’ di mana ia digunakan dari segi adat resam, semakin digantikan oleh ‘ras,’ iaitu cara untuk membina semula kategori-kategori berdasarkan ras tanpa menjadikan warna kulit atau agama isu penting. Ini dapat dilihat dengan jelas apabila Perdana Menteri Malaysia menolak cadangan seseorang ahli politik dari kaum bukan Melayu-Islam menjadi Perdana Menteri.[xxxv] Sememangnya, pewujudan sebuah Majlis Hubungan Ras atau Majlis Kesama-rataan Ras telah menjadi salah satu tuntutan utama bagi aktivis-aktivis di Malaysia sejak kebelakangan ini.[xxxvi] Lebih-lebih lagi, seorang profesor telah menyamakan sistem kebumiputeraan di Malaysia dengan sistem apartheid di Afrika Selatan dahulu.[xxxvii] Alex Callinicos pernah memperdebatkan bahawa ‘rasisme baru’ ini memang jelas dilihat, kerana rasisme berdasarkan biologi dan ‘kelemahan’ kaum-kaum tertentu masih kekal dalam mentaliti golongan-golongan tertentu, khususnya kelas pemerintah.[xxxviii] Bukti bagi kritikan-kritikan Callinicos ini memang jelas kelihatan dalam pendekatan-pendekatan yang mengatakan bahawa negeri Sabah dan Sarawak secara lazimnya tidak dapat membangun selaju negeri-negeri Semenanjung Malaysia kerana penduduknya terlalu malas atau kerana penduduknya ‘berbeza’ daripada penduduk di Kuala Lumpur.

Idea yang dimajukan oleh kelas pemerintah dan media massa ini – iaitu bahawa kaum-kaum yang berlainan di Malaysia menginginkan pemisahan pada dasar kaum atau bangsa dengan inisiatif-inisiatif sistem ekonomi dan politik – jelasnya menjadi wajah bagi ‘rasisme baru’ yang dibincangkan ini. Selagi logik perkauman wujud di minda rakyat, maka tekanan untuk menerima logik perbezaan ini akan terus kekal. Kelas pemerintah, biarpun kerajaan persekutuan di Kuala Lumpur atau kerajaan pembangkang di Sabah akan terus mengutarakan konsep satu ‘kaum’ yang berkuasa di sesebuah negeri, tanpa mengira kos dan kebinasaan pada kaum-kaum yang lain. Misalnya, sambil mengutarakan masalah-masalah yang dihadapi oleh kaum-kaum peribumi di Sabah, parti-parti politik tidak pernah menghalakan pandangan kepada kaum-kaum bukan peribumi, seperti masyarakat India yang kecil di Kota Kinabalu atau minoriti kaum Cina di Tawau dan Sandakan. Begitu jugalah dengan keadaan Orang Asli di Semenanjung Malaysia.

Jika kita tidak memisahkan proses-proses yang dihimbunkan bersama di bawah ungkapan ‘kaum,’ dan menghalakan pandangan kita melintasi arena perkauman kepada proses-proses sosial yang lain, maka kelas-kelas pemerintah akan terus menggunakan isu perkauman untuk memisahkan dan membahagikan rakyat jelata. Oleh kerana ini, identiti perkauman tidak dapat dijadikan panduan tulin bagi perjuangan politik. Pembahagian berdasarkan kaum seseorang, iaitu jenis politik utama di Malaysia – di mana kebanyakan parti politik disediakan khas untuk kaum-kaum tententu – sebenarnya menarik perhatian kita, lalu memesongkan perhatian dari persamaan kita. Sambil membahagikan rakyat mengikut garisan geografi, perkauman dan keagamaan, kelas pemerintah menghalang kita daripada menerokai persamaan-persamaan yang tertera di antara kaum-kaum yang berlainan.

Bagi sosialis dan parti revolusi sosialis, matlamat kita adalah untuk menghancurkan pembahagian dan pemisahan yang semakin dihuraikan dengan ungkapan ‘kaum’ oleh kelas-kelas pemerintah dan ahli-ahli politik haluan utama. Ini hanya dapat dilakukan dengan menghancurkan penindasan rakyat yang mengakibatkan isu perkauman menunjukkan batang hidung. Ini mungkin bermakna memberi sokongan kepada kaum-kaum yang ditindas, tetapi kita juga perlu memahami bahawa konsep ‘perkauman’ adalah cara zalim untuk membahagikan penduduk sesebuah negara ke dalam kategori-kategori abstrak. Mungkin ada sesetengah orang yang membantah, lalu mengatakan bahawa kerajaan persekutuan telah mengambil langkah untuk meraikan ‘perbezaan kaum’ (ini memang jelas kelihatan dalam propaganda media massa dan kerajaan, terutamanya selepas rusuhan kaum di Semenanjung Malaysia baru-baru ini).

Tetapi realitinya adalah bahawa pembahagian rakyat mengikut garisan kaum, biarpun di antara kaum Melayu dengan Cina, Kadazan-Dusun dengan India, atau Malaysia dengan Indonesia-Filipina, hanya menyembunyikan persamaan-persamaan yang dapat menyatukan kelas pekerja (iaitu kebanyakan penduduk). Jika ini dibenarkan berterusan, isu perkauman mungkin menjadi lebih serius, seperti yang telah berlaku di kawasan Balkan, di mana kaum-kaum tertentu ‘dibasmikan’ atau dibunuh beramai-ramai. Sebagai rakyat Malaysia, kita tidak boleh dan tidak patut menganggap isu perkaumam sebagai sesuatu yang remeh-temeh, yang hanya dapat dipertikaikan oleh ahli-ahli politik. Unsur-unsur perkauman yang disalahgunakan oleh ahli-ahli politik akan digunakan selama-lamanya untuk membahagikan kelas pekerja dan rakyat jelata jika ia tidak dihancurkan.

Karl Marx pernah memperdebatkan bahawa idea-idea yang berkuasa dalam sesebuah masyarakat sentiasanya adalah idea-idea kelas pemerintah. Dan dari segi isu-isu yang dipertimbangkan dalam rencana ini, idea-idea ‘perkauman’ yang digunakan untuk memecahkan dan melemahkan gerakan pekerja dapat dilihat sebagai idea kelas pemerintah. Tetapi idea-idea kelas pemerintah seperti ini dapat ditumbangkan. Krisis-krisis sosial sentiasanya mewujudkan keadaan-keadaan di mana idea-idea dan realiti kehidupan membawa aliran menuju persefahaman dan perpaduan, terutamanya di kalangan pekerja. Dalam keadaan sebegini, cara-cara pemikiran lama digugurkan dan digantikan oleh idea-idea revolusioner. Misalnya, semasa revolusi Indonesia pada bulan Mei 1998, para pekerja yang berlainan agama, bangsa dan suku kaum semuanya bersatu untuk menumbangkan rejim Jeneral Suharto.

Dari segi ini, pemupukan idea-idea perkauman perlu difahami sebagai cara kelas pemerintah dan kelas kapitalis mempengaruhi rakyat jelata. Tahap pengaruh ini bergantung kepada dua faktor: tahap perjuangan kelas pekerja menentang penindasan kerajaan, dan tahap kewujudan parti revolusioner yang dapat mengutarakan idea-idea sosialis di tempat-tempat bekerja dan universiti-universiti. Untuk mengetepikan konsep-konsep kapitalis yang dihulurkan oleh kelas-kelas pemerintah, kita perlulah dahulunya menghancurkan sistem sosial yang membenarkan isu perkauman dan rasisme timbul. Sebagai sosialis, kita memperdebatkan bahawa unsur-unsur perkauman, seperti yang telah dibincangkan di atas, akan berterusan di bawah sistem kapitalis, di mana kaum kaya menjadi lebih kaya dan kaum miskin menjadi semakin miskin. Dan inilah isu yang paling penting. Ia menjadi tanggungjawab kita bersama untuk menghancurkan sistem kapitalis yang melahirkan isu perkauman dan ketidaksama-rataan ini. Sudah tibanya masa untuk kita menggugurkan belenggu perkauman dan bersatu di bawah panji-panji idea revolusioner dan sosialisme. Seperti yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dalam Manifesto Komunis[xxxix],

Kaum proletariat tidak mempunyai apa-apa untuk kehilangan melainkan belenggu mereka. Mereka mempunyai dunia untuk memenangi.

Kaum pekerja sedunia, bersatulah!

Thursday 19 January 2012

arung palakka petta lampe gemme

Arung Palakka: Sebuah Renungan tentang Filsafat Sejarah Bugis Abad ke-17
Oleh: Mukhlis PaEni

Pada tahun 10 Pebruari 1899, Jenderal Van Heutz menyerang Meulaboh. Pertempuran sengit tak terhindar lagi, Teuku Umar tertembak dan mati sahid di medan perang. Arwahnya dijemput oleh tujuh bidadari. Di alam sana tempatnya yang abadi, ia dikawinkan dengan Ainal Mardiah bidadari yang amat sempuma, itulah pemberian Allah sebagai hadiah perang sabil.
"Nyawa tubuh dengan harta,
belanjakan untuk perang sabil.
Sungai-sungai Kalkautsar sangat indah, pembagian
Muhammad karunia Rabbi.
Penghulu kita memberi pada ummat, yang berkhidmat berperang sabil.
Minum seteguk rasa lain,
semakin lesat tak terperi.
Dijadikan isteri bintang kejora.
Cantik jelita sang Bidadari"[1]

Teuku Umar (1854-1899), Sayidi yang legendaris ini dikenal sangat kontroversial dalam berbagai tindakan, jalan hidup dan taktik bertempurnya selama perang Aceh. Berkali-kali ia berperang di pihak Sang Kafir. Kemudian lari lagi ke pihak Aceh, menyeberang lagi dan lari lagi. Ia juga diangkat sebagai penasehat dan orang kepercayaan Belanda dalam Perang Aceh. Ia menyerang patriot-patriot Aceh dan korban pun berjatuhan akibat ulahnya. Karena sepak terjangnya itu ia dicap sebagi anjing penghianat yang amat laknat, ketika ia gugur di medan perang berakhirlah petualangannya yang kontroversial itu. Peluru Beulanda Kaphe (Belanda Kafir) merenggut jiwanya. Ia gugur sebagai panglima perang Aceh yang sejati, dan ketika jasadnya dikebumikan di samping masjid di Kampung Mugo, orang-orang Aceh menyebutnya Teuku Johan Pahlawan. Tuanku Pahlawan yang perkasa.

Jika kita menyimak alur perjuangan Teuku Umar dan menghubungkannya dengan hikayat perang sabil yang menjadi spirit perang Aceh, maka akan tampak bahwa ide yang mendasari keterlibatan Teuku Umar dalam perang Aceh adalah perang melawan Kaphi "Sabilillah" dan tujuan akhirnya adalah "Sahid". Oleh Karena itu, bagi masyarakat Aceh hanya ada satu penilaian yang primer, Sahid dan jalan menuju Sahid adalah Jihad Fi Sabilillah. Dalam keadaan yang demikian, faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan lain-lain menjadi faktor sekunder. Keadaan perang yang berkobar ketika itu melahirkan kegiatan berpikir mengenai Hukum Islam yang berkaitan dengan pokok hubungan antara kaum muslim dan yang bukan muslim. Seorang Islam wajib merebut negerinya dari kekuasaan musuh apalagi musuh itu adalah Beulanda Kaphe (Belanda Kafir), jadikanlah pekerjaan mengusir musuh itu sebagi fardhu ain, begitulah fatwah ulama.

Dari kisah Teuku Umar sang Johan Pahlawan, kita dapat mengetahui bahwa, bagi orang Aceh, perjalanan sejarah tak lain adalah kisah tentang jatuh bangunnya anak manusia yang senantiasa berubah dan dalam fluktuasi itu pintu taubat dan maaf selalu terbuka, karena itu yang terpenting dan di atas segala-galanya adalah realitas dari akhir perjalanan itu, sahid.

Kalaulah kisah Teuku Umar dalam Perang Aceh digunakan sebagai imsal bagi pijakan imajinasi kita untuk menyingkap nuansa keterlibatan Arung Palakka dalam Perang Makassar 1660-1669, maka kitapun akan mencoba memahami apa sesungguhnya yang terjadi ketika itu dan dari kejadian itu melahirkan kegiatan berfikir apa. Kegiatan berpikir itulah yang paling penting diketahui sebagai suatu upaya akademis untuk menempatkan suatu kejadian pada tempat yang sesungguhnya. Pemahaman terhadap hal tersebut sangat penting artinya dalam memahami dasar filsafat dan etika Bugis yang menguasai jalannya sejarah ketika itu, itulah yang disebut "jiwa jaman" (zeitgeist).

Bagi orang Bugis hidup ini adalah harga diri (siri‘) yang harus selalu dipelihara dan dipertaruhkan agar keseimbangannya dengan yang lain senantiasa terjaga. Apabila seseorang dibuat siri‘ (masiri‘) yang menyebabkan harga dirinya terganggu atau hilang, maka oleh masyarakat sekitarnya ia dituntut untuk mengambil langkah menebus diri dengan menyingkirkan penyebab siri‘ yang merusak keseimbangannya sebagai manusia, karena itu ia wajib menyingkirkan penyebab siri‘ di matanya sendiri dan di mata masyarakatnya. Masyarakat mengharapkan seseorang yang telah dibuat siri‘ (masiri‘) mengambil tindakan karena dirasakan lebih baik mati mempertahankan harga diri (mate ri siri‘ na) daripada hidup tanpa harga diri (mate siri‘). Mati mempertahankan siri‘ adalah mate rigolai, mate ri sangtangi atau menjalani kematian yang manis.

Ketika seseorang telah melangkah mengambil tindakan untuk mempertahankan dan merebut harga diri (siri‘ na), maka proses awal memasuki dunia sejarah dari seseorang telah dimulai. Bagi orang Bugis masa menyejarah inilah yang sangat penting. Jika Teuku Umar memasuki dunia sejarah melalui Perang Aceh dan berhasil menjangkau tujuan akhir perjalanan sejarah (dalam pandangan masyarakatnya dan pandangan filsafat sejarah Aceh, Sahid), maka Arung Palakka telah mengawali keterlibatannya dalam menyejarah, melalui perang Makassar dengan memasuki pintu sejarah melalui pintu yang paling hakiki menurut filsafat sejarah Bugis, yakni menegakkan siri‘ (harga diri). Hal ini sangat penting karena siri‘ adalah awal segala-galanya. Pemulihan dan penjagaan siri‘ adalah pula akhir dari perjalanan sejarah bagi orang Bugis.

Beberapa saat setelah bobolnya benteng Somba Opu 21 Juni 1669 yang menandai runtuhnya Kerajaan Gowa, Arung Palakka bertanya kepada orang-orang Bone (Bugis):

"Wahai orang Bone, kita telah diberi oleh Tuhan yang kita minta, dan sekarang apa gerangan yang ada dalam pemikiranmu. Orang Bone mengatakan, kami ingin membalas perlakuan orang-orang Gowa (Makassar) terhadap orang Bone (Bugis)". Bertanya pula Arung Palakka kepada orang-orang Bone: Sewaktu kalian berperang, apa yang kalian inginkan dalam hati, yang kami inginkan kata orang Bone ialah mengalahkan dan akan membalas tindakan dan perbuatan orang-orang Gowa terhadap kami. Arung Palakka berkata yang mana lebih baik jika kalian yang membalas atau Tuhan Yang Maha Kuasa, dan orang Bone pun menyerahkan pembalasan itu kepada Tuhan"

Melalui pernyataan yang luhur ini tak dapat diragukan lagi, bahwa keterlibatan Arung Palakka dan orang-orang Bone dalam perang adalah pemulihan harga diri, Keduanya diikat oleh satu hubungan emosional yang amat dalam, pésse.

Apakah yang terjadi kemudian setelah itu, satu periode/babak sejarah Sul-Sel berakhir, dan babak baru dalam kronologi sejarah Sulawesi Selatan siap memasuki sebuah era yang baru, era kekuasaan asing (VOC). Satu era sejarah yang ditandai dengan kisah tentang jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara termasuk Gowa. Kehadiran Arung Palakka adalah realitas sejarah yang dianggap sebagai awal bagi satu babak baru dalam percaturan politik dan kepemimpinan di Sulawesi Selatan yang sudah berjalan cukup lama, sesuatu yang biasa dan akan terus berlangsung dalam sejarah. Setelah kita menutup satu era periode sejarah dalam kenangan waktu, maka kitapun memasuki era Arung Palakka. Era ini sangat penting, tidak hanya bagi orang-orang Bone (Bugis), tetapi bagi seluruh masyarakat Sulawesi Selatan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan era Arung Palakka adalah era penataan kembali tatanan kehidupan masyarakat setelah melalui periode perang yang panjang. Pertanyaan-pertanyaan sejarah yang riil. Bagaimana struktur masyarakat dan kekuasaan ketika itu, kemajuan sosial yang dicapai ketika itu, bagaimana perkembangan budaya dan pengembangan keagamaan ketika itu. Sampai di mana tingkat perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu, bagaimana hubungan internasional yang berlangsung. Bagaimana dengan kekuatan basis ekonomi masyarakat, bagaimana pandangan dunia intemasional ketika itu, bagaimana hak-hak asasi manusia dijalankan dan lain-lain. Persoalan-persoalan ini perlu diketahui, perlu dibicarakan, karena jawabannya adalah bagian yang paling penting untuk mengetahui apakah masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) mampu menjaga siri‘-nya dalam era sejarah yang baru itu atau sebaliknya bahwa di era yang baru itu masyarakat Sulawesi Selatan sudah kehilangan siri‘ seiring dengan kekalahan Gowa dalam perang Makassar. Sejarah pada dasarnya bukanlah hanya hikayat seseorang, melainkan riwayat masyarakat yang penuh dengan berbagai rona dalam dimensi-dimensi; sosial, budaya, agama, ekonomi, sastra, filsafat, politik, birokrasi, seni, undang-undang, adat istiadat, mistik, ritual, simbol-simbol, hak-hak asasi dan banyak lagi. Semua itulah yang memberi nuansa bagi harga diri orang-orang Bugis-Makassar ketika itu.

Arung Palakka telah mengantar masyarakat Sulawesi Selatan memasuki suatu era baru dalam babakan sejarah dengan penuh perjuangan, dan generasi sesudah itu seringkali hanya asyik bercerita dan menjelaskan secara rinci dan terkadang emosional tentang keterlibatan Arung Palakka di awal sejarah dalam Perang Makassar. Sementara uraian tentang apa yang dilakukan dan yang dicapai oleh masyarakat sesudah itu tidak banyak dibicarakan. Dewasa ini orang-orang Bugis-Makassar diperhadapkan untuk menjelaskan semua itu dengan jujur. Hal ini sangat penting, karena dari sini dapat diketahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh orang-orang Bugis-Makassar mempertahankan siri‘. Melalui suatu upaya yang cermat dalam memasuki pergantian zaman dengan baik sehingga sekalipun Gowa hancur, Tosara ibu negeri Wajo di bumi hangus dll, orang Makassar-Bugis yang terlibat dalam perang merasa tidak kehilangan siri‘ (mate siri‘). Lihatlah misalnya bagaimana kisah keterlibatan Arung Palakka dalam kancah Perang Makassar, dituturkan dalam Sinrilik Kappala Tallumbatua. Satu penjelasan yang sengaja direkayasa untuk konsumsi masyarakat desa, dan orang-orang Makassar pedalaman. Bagaimana persepsi masyarakat desa (mayoritas) tentang Perang Makassar, tentang Kerajaan Gowa dan tentang Arung Palakka, sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan persepsi istana, raja-raja, para bangsawan dan kalangan atas tentang Perang Makassar dan Arung Palakka. Persepsi ini juga berbeda dengan yang digunakan oleh sejarawan-sejarawan Barat atau didikan Barat yang hanya melihat abad ke-17 hanya berisi pertentangan antara Kompeni (VOC) dengan raja-raja lokal, dalam rangka persaingan politik ekonomi, dan penguasaan kontrol terhadap jalur perdagangan.

Jika kita mau mencoba meninggalkan cara pandang sarjana Barat tentang ide perang Makassar yang bertemakan persaingan ekonomi itu dan mengamati satu persoalan micro historis yang terletak jauh di bawah permukaan sejarah, di sana akan menemukan banyak tema, yang non ekonomis sifatnya, yang justru menentukan jalannya sejarah, tema-tema itu adalah tumpukan kegelisahan masyarakat di satu zaman. Ia bisa saja berwujud kebobrokan kontrol birokrasi, pelanggaran hak-hak azasi manusia, rendahnya kualitas manusia, lemahnya perekonomian negara, korupsi di antara para pejabat, penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab dan banyak lagi. Persoalan-persoalan semacam ini terbenam di bawah arus sejarah politik yang ketika itu di abad ke -17 didominasi oleh persaingan ekonomi antara Gowa dengan VOC.

Kalau kita mau mencoba meninggalkan peristiwa macro, dan membicarakan berbagai tema yang berada di bawah permukaan sejarah politik dan ekonomi, maka akan tampak betapa berbagai ragam dan nuansa kesejarahan yang kita temukan. Jika kita membaca sejarah Indonesia seperti apa yang kita ketahui sekarang bahwa Belanda (VOC) adalah satu imperium dagang yang sangat besar di dunia abad ke-17 dan kedatangannya di Nusantara ini tak terlepas dari nafsu ekonomi dagang dan kekuasaan ekonomi, tetapi bagaimana masyarakat desa, rakyat kecil melihat/memahami kedatangan Belanda, sangat berbeda. Mereka memiliki persepsi yang berbeda. Mereka tidak mengenal percaturan politik, persaingan ekonomi, jalur dagang, dll. Yang mereka tahu Belanda datang dan mereka merasakan tatanan tradisionalnya terusik. Ada yang berusaha melawannya secara fisik, ada yang hanya melawannya dengan prinsip, ada yang terpaksa menerimanya dengan pasrah dan ada pula yang menerimanya sebagai suatu kewajaran. Sebagai contoh dikisahkan dalam Serat Baron Sahendher sebuah pseudo History (Jawa) "sejarah semu" yang juga biasa disebut sebagai legendariry history atau legenda sejarah. Dalam Serat Baron Sahendher diceritakan bahwa sesungguhnya kedatangan Belanda ke Jawa adalah sebuah kewajaran yang harus diterima :

Tersebutlah dalam Serat Baron Sahendher seorang wanita cantik bernama Dewi Anuranggang. Karena kecantikannya, ia diperistrikan Sultan Jakarta, akan tetapi Sultan Jakarta tak kuasa menghadapi istrinya, karena setiap kali akan ditiduri memancar api dari tubuhnya. Anuranggang dibuangnya dan kemudian ia dipungut oleh Sultan dan mengalami nasib yang sama dengan Sultan Jakarta. Anuranggang dikembalikan pada Sultan Jakarta dan kemudian ia dijual kepada Baron Sukmul seorang anak pedagang kaya dari Gunung Kurbin di Spanyol[2] dengan tiga buah meriam, dua di antaranya ialah Ki Gunturgeni, Ki Pamuk. Baron Sukmui kemudian menjadikan Dewi Anuranggang sebagai istri tercinta dan membawanya pulang ke Eropa. Di sanalah Anuranggang melahirkan seorang anak yang diberi nama Murjangkung. Murjangkung kemudian setelah dewasa merasa dirinya berbeda dengan masyarakat di sekelilingnya di Eropa dan ketika ia tahu bahwa ibunya adalah orang Jawa yang dulu disia-siakan oleh Sultan Jakarta dan Sultan Cirebon, Murjangkung kemudian berangkat ke Jakarta untuk membalas dendam sakit hati ibunya kepada Sultan Jakarta dan Sultan Cirebon.[3]

Karena itulah ketika Belanda mulai menanamkan kekuasaannya di Batavia, rakyat menerimanya sebagai sesuatu yang wajar sebagai hukuman Sultan Jakarta atas perlakuannya kepada Dewi Anuranggang karena bagi orang Jawa Murjangkung tak lain adalah Jan Pietersz Coen: Gubemur Jenderal VOC yang pertama di Batavia.

Serat Baron Sakender memang sengaja diciptakan mengikuti alam pikiran orang Jawa pedesaan. Agar mereka ikhlas menerima kehadiran Belanda sebagai takdir, sebagai balasan atas kesewenang-wenangan rajanya yang menginjak-injak hak azasi manusia.

Kalau kita melihat bagaimana Sinrilik Kappala Tallumbatua diciptakan sebagai Serat Baron Sakender yang dikarang untuk memberi pemahaman kepada rakyat pedesaan tentang kehadiran Belanda sebagai suatu kewajaran. Maka Sinrilik Kappala Tallumbatua pun digubah sebagai suatu penjelasan moral kesejarahan kepada orang-orang Makassar agar mereka menerima kekalahan Kerajaan Gowa sebagai suatu kewajaran sejarah sebagai takdir (taka dere) atas kesewenangan-wenangan raja pada hak azasi manusia, sedang perbuatan Arung Palakka digambarkan sebagai seseorang yang tertimpa duka yang amat dalam, dan itu adalah sare atau were (takdir). Namun demikian sare atau were masih bisa diperbaiki melalui upaya, usaha dan kerja keras. Karena itulah apapun yang dilakukan oleh Arung Palakka dalam menyejarah adalah bagian dan upayanya memperbaiki were yang diterimanya, dan dijalaninya dengan tabah dan penuh kegigihan melalui apa yang disebut Mattunru toto.

Bagi orang Aceh, persoalan yang dihadapi Teuku Umar dan masyarakat Aceh yang religius, dan fanatik dalam perang Aceh tidak dianggap sebagai perang karena persaingan ekonomi dan kontra kekuasaan antara Aceh dan Kolonial Belanda, melainkan Sabilillah melawan Kafir. Bagaimanapun juga Belanda adalah Kaphe. Pertentangan ekonomi dan kontra kekuasaan serta berbagai faktor lainnya, adalah tema-tema yang larut dalam Sabilillah. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan dalam proses sejarah tidak terlalu penting, sebab bagi masyarakat Aceh yang fanatik itu penilaian terakhirlah yang menentukan, sahid.

Menghadapi perang expedisi penaklukan di berbagai pelosok negeri kita, expedisi kolonial ini melarutkan semua tema yang ada di seputar kedatangan Belanda dalam siri‘ dan sahid secara bersama. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya perlawanan yang dilakukan di awal abad ke-20 di Sulawesi Selatan. Keperkasaan dan kegigihan itu disenandungkan dalam berbagai nyayian perang, (elong osong). Elong osong besse tangelo, mata essona Bulo-bulo, osonna I Mandavini Petta Mapute Isie, osonna I Patimbani Dg Maketti Arung Patimpeng. Osong lai-lainna Sidenreng, osong Bawi Mabbosanna Maniampajo, dll.
Iya bela, iya pakkanna
e lakallolo, magi muonro
aga dega muissenngi makkedae
pitu anak dara mabaju eja tajekko ri pammasareng
Lesseko keloe ri tenggana jekangnge
natoliangao gajang
labetta massola-solae
Sola-sola mate
temmasola-sola mate
lebbini mate massola-solae

Artinya :


Wahai sekalian, seluruh pasukan perang
hai anak muda, mengapa tersendat maju apakah
engkau tak tahu bahwa
tujuh orang bidadari berbaju merah
menunggumu di pusara

menghindarlah kalian dari tengah jalan
nanti tersenggol senjata
si pemberani yang tak takut mati
pemberani akan mati
yang tidak beranipun juga akan mati
lebih baik mati sebagai pemberani

He pakkannea
idina jowana La Jalante
teppallaisenngi lino pammasareng

Kegapi muelo mate
Jowa engkatona
ajjowareng angkatona

Temmate tuwoe
teilete ri manipi
tania kadona
He bela
sola-sola mate, temmasole-sole mate
lebbi I sia mate massola-solae
pitu gare wawinnena ri maje
mate massola-solae
Idi‘na wijanna warani pitue
bawi mabbosanna Maniampajo
tedong tenrilasekna Anabbanua
assangirenna malelae
attabutturenna picunannge

Artinya :
He prajurit pasukan perang
kami inilah pasukan La Jalante
yang tidak membedakan mati atau hidup

Kapan lagi kita mau berkorban
pengikut telah siap
pemimpinpun telah siap

Tak mati yang hidup
tidak masuk hang lahat
yang bukan suratannya

He beta
pemberani akan mati, yang tidak beranipun akan mati
lebih terhormat mati sebagai pemberani

Konon kelak disediakan tujuh istri
bagi mereka yang mad sebagai pemberani

Kitalah ini turunan pemberani yang tujuh
Si Babi Gonrong dari Maniampajo
Kerbau tak dikebiri dari Anakbanua
tempat mengasah keris
tempat tertumbuknya peluru[4]

Senandung nyanyian-nyanyian perang (Elong Asong) ini alunannya melampaui batas-batas wilayah, daerah atau kawasan etnik tertentu.

Ketika nyanyian perang semacam ini disenandungkan pula pada tempat lain dan alunannyapun melampui batas wilayah, daerah dan kawasannya, bertautlah untaian liriknya mempersatukan irama zaman. Keadaan semacam inilah yang menautkan "memori kolektif" mereka. Memori kolektif inilah yang menjadi benih tumbuhnya satu kesadaran bersama yang melahirkan suatu tingkah laku kolektif yang ditemukan di mana-mana. Faktor-faktor inilah yang menjadi embrio bagi lahirnya satu nation kelak di kemudian hari.

Memperhatikan perjuangan Arung Palakka dalam menegakkan hak azasi manusia yang terinjak-injak ketika itu akibat diperlakukan sebagai budak di luar batas kemanusiaan (ripoata pupu) dan memperoleh kesengsaraan dan perlakuan kasar sebagai pekerja paksa (anrasarasangnge ri kaee) sebagai faktor utama keterlibatannya menyejarah. Tak dapat diragukan lagi tujuan perjuangan itu. Sebagai upaya mencari keseimbangan, dan merebut harga dirinya yang hilang.

Persoalannya sekarang adalah sejauh mana perjuangan kemanusiaan yang dikorbankan Arung Palakka ketika itu mampu melampaui batas-batas wilayah, daerah dan kawasannya. Kemudian apakah tema perjuangan kemanusiaan Arung Palakka ketika itu mampu mengalahkan tema yang aktual di abad ke-17 sehingga tema perjuangan kemanusiaan itu dapat diterima secara universal oleh zamannya.

Dengan demikian akan tampak bahwa masalah yang perlu mendapat perhatian bukan peristiwa atau kejadiannya, melainkan filsafat sejarahnya, yakni ide keterlibatan Arung Palakka dalam perang, bukan jalannya peperangan.

Daftar Pustaka

* Alfian, Ibrahim, Prof. Dr., 1987. Perang di Jalan Allah 1873-1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
* -------, 1992. Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil. Jakarta: Balai Pustaka.
* Daeng Patunru, Abdulrrazak dkk., 1981. Sejarah Bone. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaati Sulawesi Selatan.
* Duveger, Manrice, 1981. Sosiologi Politik. Jakarta: CV. Rajawali.
* Frederick, William H., 1984. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.
* Kartodirdjo, Sartono, 1983. Elite Dalam Perpektif Sejarah. Jakarta: LP3ES.
* -------, 1984. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES.
* Keller, Susanne, 1989. Penguasa dan Kelompok Elite. Peranan Elite Penentu Dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Rajawali.
* Nugroho, Ahmad, 1987. Lahirnya Mutjangkung: Tinjauan Pupuh-Pupuh Awal Serat Sekaber. Yogyakarta, Fakultas Sastra UGM.
* Lontaraq Akkarungeng (Bone), 1985. Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
* Punagi, H. Andi Abubakar, 1986. Transliterasi dan terjemahan Elong Ogi Hasil Sastra Tulisan Bugis. Ujung Pandang: Proyek Penelitian dan pengkajian Kebudyaan Sulawesi Selatan. Lagaligo.

____________________________

Tulisan ini diambil dari buku yang berjudul Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan kepada Teuku Ibrahim Alfian. Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 1992.

Mukhlis PaEni, adalah Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film (NBSF) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) Repubulik Indonesia.

Kredit foto :(Foto Mukhlis Paeni) dan telukbone.blogspot.com

[1] Hikayat Perang Sabil, Sastra Perang, T, Ibrahim Alfian, Balai Pustaka 1992.

[2] Spanyol di sini diartikan sebagai Eropa, tetapi yang dimaksud adalah Belanda.

[3] Ahmad Nugroho: Lahirnya Murjangkung, Fakultas Sastra 1982.

[4] Elong Ugi, Hasil Sastra Tulisan Bugis, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan, Lagaligo. 1986/1987. — with Abd Majid Bakri.